Mata Kuning Muda | Cerpen Farizal Sikumbang


AKU bertemu dengan Angku Mudin pada siang hari. Angku terlihat sudah sangat renta kini. Seluruh rambutnya sudah memutih. Kulit tubuhnya mengkerut. Tulang pipinya menonjol. Punggungnya sedikit membungkuk. Tak ada lagi yang tersisa dari tubuh kukuhnya yang dulu. Yang awet mungkin kesetiaannya saja. Kesetiaan pada pekerjaannya sebagai pembersih rumput sekaligus penjaga makam pendekar itu.

“Sudah pulang dari rantau kamu Buyung,” kata Angku Mudin dengan bunyi bergetar ketika melihatku muncul di depannya. Angku Mudin kemudian menatapku tajam. Dan saya merasa, sangat merasa, bahwa tatapan mata itu masih ada rupanya. Tatapan yang menyimbolkan bahwa Angku yaitu salah seorang pasukan harimau itu. Mata itu, kuning muda. Tajam sorotnya. Mata yang sangat saya takutkan dulu.

“Ya Angku. Aku gres pulang dari rantau orang. Bagaimana keadaan Angku. Apakah Angku sehat-sehat saja.”

“Aku sudah tua,” katanya tersenyum. “Sering sakit-sakitan,” tambahnya sambil memasukkan selembar daun kamboja renta ke tong sampah yang gres jatuh ke tanah.

Aku ingat ketika masih bawah umur usia belasan tahun sering kemari bersama beberapa orang mitra lama. Tapi mereka kini sudah pergi jauh tentunya. Ada yang merantau menyerupai aku, sebagian lagi mati lantaran banyak sekali sebab. Hanya saya yang kini tersisa di antara mereka. Dan, ketika saya berada di kampung ini tanpa mereka, perasaanku semakin asing saja. Untuk menghilangkan kesuntukan saya kunjungi saja Angku Mudin ke tempatnya.

“Kelihatannya wajahmu cepat sekali tuanya sekarang,” kata Angku menyerupai menyindirku.

“Ya Angku. Rantau telah menguras pikiran dan tenagaku. Susah hidupku di rantau Angku. Kurus badanku ini dibuatnya.”

“Semoga kamu tak menyerupai orang rantau lain, mudik lantaran tak mampu hidup sulit. Tapi saya tahu kamu orang tegar dan kuat.”

“Di antara kawan-kawan kamu dulu, hanya kamu yang keras kepala,” kata Angku sedikit tersenyum. “Kau pemimpinnya. Aku tak lupa, dulu kepala belakangmu berdarah lantaran saya lempar dengan batu,” kata Angku.

“Ah, Angku. Aku jadi malu.”

“Tapi kini saya yang aib dan merasa berdosa. Bila kuingat, Abakmu tak berani mendatangiku,” kata Angku lagi sambil menunduk. “Tapi Abakmu sudah tak ada sekarang. Belum sempat saya minta maaf padanya.”

“Sudah dimaafkan Angku,” kataku.

“Ah, Kau.”

Lalu tiba-tiba saya ingat Abak. Kata-kata Abak.

“Jangan lagi kamu buat dia memarahimu. Apa kalian tak ada kerja. Orang renta jangan dipermainkan. Awas kau. Kulecut dengan ikat pinggang kamu nanti,” kata Abak dulu, ketika tahu kami mengusik Angku.

Tapi kami, bawah umur usia belasan tahun lebih sering menciptakan kegaduhan. Kegaduhan yang paling sering kami buat yaitu melempar-lempar pohon kamboja yang tumbuh di area permakaman itu. Jika pohon itu kami lempar dengan batu, akan banyaklah daun-daunnya acak-acakan ke tanah. Dan lebih menyenangkan lagi ketika angin kencang. Daun-daun itu serupa layang-layang yang berterbangan. Lalu kami melonjak-lonjak kegirangan. Bersorak-sorak.

“Itu layang-layangku.”

“Itu punyaku.”

“Terbangnya jauh.”

“Hus, hus, hus.”

Ketika Angku melihat kami. Ia akan berteriak keras sekali. Suaranya menyerupai rauangan harimau.

“Hoiiiiiii. Huoiiiii. Hoiiiiiiiiiii….” begitu suaranya.

Lalu, kampung menyerupai gaduh. Ayam di sangkar laksana kedatangan musang hitam. Kami lari tunggang langgang. Tapi esok hari, jikalau Angku tak ada, kami akan mengulanginya lagi. Perbuatan itu kami lakukan berulang-ulang. Sampai suatu hari saya ketiban sial. Kali ini kami tak melempar daun-daun kamboja itu dengan batu. Tapi kami colok-colok dengan galah di tangan. Saat itu angin puting-beliung sekali. Entah angin apa namanya. Rasanya menyerupai berada di tepi pantai. Daun yang kami colok terbangnya sangat jauh. Kami girang sekali. Kami lupa diri, dan tak menyadari Angku sudah berada di belakang kami. Kami lemparkan galah di tangan. Kami lari. Namun, kerikil sebesar kelereng mengenai penggalan belakang kepalaku. Sampai balasannya saya tahu darah mengalir ke baju. Aku larikan tubuhku pulang ke rumah. Mande yang mendapat saya terluka di kepala pucat dan gemetar. Ia memang sangat takut jikalau melihat darah. Sedangkan Abak mengeluarkan sumpah serapah.

“Mati kau. Kena kau. Tak mendengar kata orang tua,” kata Abak dengan muka memerah.

Abak menarik tanganku dengan sangat tergesa. Ditekannya luka di kepalaku dengan baju usangnya. Kulihat Abak menjangkau sarang laba-laba yang tergantung di sudut dinding rumah.

“Sini,” kata Abak sambil menempelkan bekas sarang laba-laba itu di kepalaku.

“Untung kamu tak dilemparnya dengan kerikil besar. Bisa-bisa mati kau. Hanya kulitnya sedikit tergores. Tak apa. Kau jangan menangis,” kata Abak lagi ketika saya meringis menahan pedih. “Kau tak tahu siapa dia ya,” kata Abak dengan bunyi agak pelan.

Malam harinya Abak memanggilku. Aku disuruh duduk di hadapannya.

“Abak tak ingin lagi kamu menciptakan Angku marah. Ini terakhir kalinya. Untuk itu kamu dengarlah kisah Abakmu ini. Semoga kamu tak lagi keras kepala,” kata Abak.

“Kampung kita ini ditakuti oleh kampung lain. Tak ada orang kampung luar yang berani macam-macam pada orang kampung kita. Kau tahu kenapa? Karena kita orang Kuranji. Orang Kuranji sangat ditakuti. Itu ada muasalnya. Dan muasalnya itu ada pada Angku Mudin.”

Aku hanya termangu memperhatikan Abak bertutur. Tapi saya menyimak dengan jelas.

“Angku Mudin itu yaitu seorang pahlawan, Nak. Beliau seorang pejuang. Dulu, pada zaman penjajahan ia tergabung dalam Kompi Harimau Kuranji. Banyak kisah wacana kegigihan pasukan Harimau Kuranji berperang. Mereka tak pernah takut. Pasukan pemberani. Mendengar namanya saja pasukan sekutu sudah bergetar. Mereka tahu kegigihan pasukan Harimau Kuranji.”

“Dan, bencana yang sangat dikenang itu yaitu ketika pasukan itu menyerang tentara sekutu di Rimbo Kaluang. Menurut kisah yang sangat patut dipercaya, ketika itu jumlah mereka hanya sekitar lima puluh orang, termasuk Angku Mudin. Kau bayangkan betapa pemberaninya mereka, dari lima puluh orang itu hanya lima belas orang yang membawa senjata. Pelontar roket mereka bawa, granat tangan, sten mereka bawa. Kau tahu apa itu sten? Senjata jenis pistol. Itu semua hasil rampasan dari tentara sekutu,” kata Abak bersemangat. Aku hanya mengangguk pelan.

“Itu tahun 45. Banyak yang menyampaikan itu perang yang sengit. Langit merah api lantaran ledakan di sana sini. Peluru berdesing-desing. Entah berapa banyak tentara sekutu yang tewas. Tapi satu orang pasukan Harimau Kuranji tewas terkena mortir. Mereka kalah jumlah. Lalu mundur. Tapi kegigihan pada perang itu sangat dikenang orang.”

“Kau perhatikan Angku itu. Dia bukan hanya pahlawan, tetapi juga orang yang setia kawan. Tidak hanya pada mitra ketika masih hidup, yang sudah meninggal pun masih diperhatikannya. Dia rawat makam kawan-kawannya yang telah tiada. Abak bukan hanya segan padanya, tapi juga takut. Matanya itu. Kuning muda. Mata harimau. Katanya semua anggota Harimau Kuranji bermata kuning muda. Entah iya entah tidak. Sampai kini pun, tidak ada yang tahu kenapa mereka menamai pasukan mereka dengan nama harimau. Apa dulu di sini banyak harimau? Entahlah,” kata Abak.

*****

Hoi Buyung, berapa lama kamu di kampung?” tanya Angku Mudin yang membuyarkan lamunanku.

“Belum tahu Angku.”

“Cari uang zaman kini susah. Untung pemerintah menawarkan upah lantaran merawat makam ini. Kalau tak, makan apa aku?” kata Angku, sendu.

Angku Mudin kemudian mengajakku duduk di bawah pohon kamboja. Batang pohon itu cukup besar. Daunnya rindang. Dua mata angku menatapku dengan teduh. Aku menyerupai berada di masa kanak-kanak yang rapuh. Butuh perlindungan.

“Mata ini sudah tua. Sudah kabur. Mungkin harimau yang kami bunuh dulu itu telah memintanya,” kata Angku datar. “Harimau yang aneh. Setelah kami bunuh tiba-tiba semua mata kami menjadi kuning muda. Mata harimau,” tambah Angku lagi.

Aku tak menyahut. Tapi mulai berpikir kenapa Angku Mudin dan kawan-kawannya dulu memberi nama pasukannya dengan Harimau Kuranji.

Aku kemudian menyandarkan tubuh pada pohon kamboja yang tumbuh di pemakaman itu. Kantuk tiba-tiba menyerangku. Aku tahu kantuk ini bergotong-royong disebabkan oleh efek obat penenang yang telah kuminum di rumah beberapa menit yang lalu. Memang sudah satu ahad ini saya mengonsumsi obat itu. Ini kulakukan lantaran sesudah mengkonsumsi obat itu, pikiranku lebih hening sehingga saya dapat melupakan istriku, yang kini pergi bersama pria lain. Aku mengutuk wanita celaka itu lantaran dia menciptakan pikiranku sangat kacau. Aku dapat gila jikalau terus memikirkannya.

Kini, kantuk itu cepat sekali menyerangku. Sebegitu cepatnya, tiba-tiba saja di sekitar makam terasa gelap. Dua mata Angku, mata lingkaran berwarna kuning muda terang itu menatapku. Seperti mata seekor harimau yang hendak mengoyak tubuhku. (*)

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel