Kyai Sepuh | Cerpen Seno Gumira Ajidarma


Kyai Sepuh bukan dukun, bukan tukang ramal, bukan pula tukang tenung. Kyai Sepuh hanyalah seorang pemain teater. Tepatnya bekas pemain teater yang mengalihkan kemampuannya berseni tugas dari panggung ke dalam kehidupan sehari-hari.

Dari caranya bersikap, memainkan mimik muka maupun bahasa tubuhnya, dia berhasil memberi kesan bahwa dirinya betul-betul seorang insan bijak. Terbukti dengan begitu banyak orang yang percaya kepadanya, tanpa kesadaran bahwa yang dipercayainya ialah suatu tugas yang dimainkan.

Demikianlah berlangsung dari hari ke hari. Dan sehabis bertahun-tahun, Kyai Sepuh akibatnya berhasil mengelabui dirinya sendiri. Betapa dia memang sebenarnyalah sungguh bijaksana, pandai, cerdas, dan berpengetahuan. Dia sungguh-sungguh mengira, dengan kepekaan yang dirasa-rasakannya saja, dapatlah dia memperlihatkan kebenaran yang dicari semua orang. Apalagi sambutan orang-orang di sekitarnya pun serba membenarkannya.

Hanya saja Kyai Sepuh sudah mulai sakit-sakitan dan pelupa. Namun tiada seorang pun yang percaya. Kyai Sepuh sendiri memang tidak pernah memeriksakan sakitnya ke dokter. Karena ia berpikir kalau dirinya berobat ke dokter dan darahnya diperiksa oleh laboratorium kesehatan, orang-orang tidak akan percaya lagi kepadanya.

“Masa orang pinter ke dokter,” itulah balasan yang dihindarinya.

Begitulah, semakin banyak saja orang yang tiba minta petunjuk. Begitu banyak sehingga sudah mustahil lagi dilayani satu per satu. Kerumunan di rumahnya begitu besar yang kalau diurutkan dalam antrean akan menjadi terlalu panjang, yang dalam waktu 24 jam pun tidak akan berkurang sebab orang-orang yang terus mengalir berdatangan.

Maka Kyai Sepuh memutuskan, penyelesaian kasus tidak akan dilakukan bagi setiap orang satu per satu, tapi secara borongan. Satu petunjuk untuk semua orang dengan penafsiran masing-masing.

*****

Hari itu Kyai Sepuh bersila di tempatnya yang biasa. Sebuah kotak persegi panjang yang dalam dunia teater disebut “level”. Cukup sebuah level yang dialasi tikar pandan murahan, maka dia pun sudah lebih tinggi dari orang-orang yang berkumpul di ruangan itu. Kedudukan lebih tinggi itu baginya perlu, sebab akan memberi kesan lebih tinggi dari segalanya, di ruangan itu maupun dunia di luarnya.

Dalam dunia teater, panggung ialah sentra dunia, dan ruangan itu ialah panggungnya. Kelompok teater yang didirikannya sudah usang bubar dan orang-orang sudah melupakannya. Khalayak kini mengenalnya sebagai orang pinter yang bisa menjawab semua pertanyaan ihwal segala hal dengan baik dan benar, sempurna dan jitu, asal bisa menafsirkan petunjuknya.

Segala sesuatu yang terbukti memperlihatkan kepintaran Kyai Sepuh. Segala sesuatu yang tidak terbukti memperlihatkan kebodohan penafsirnya. Begitulah aturan yang berlaku di dunia Kyai Sepuh.

Dari masa lalunya hanya tersisa level itu. Dia hanya butuh satu. Lebih dari cukup untuk meninggikan dirinya dari siapa pun yang masuk ke rumahnya, panggungnya di dunia nyata—dan hari itu dia sedang berada di sana, bersila, memejamkan mata dengan kepala tertunduk dan badan membungkuk, tidak terlalu terperinci apakah sedang tafakur atau mengantuk.

Dia sendiri kurang mengerti mengapa semakin renta dan semakin memutih jenggotnya dia begitu praktis terkantuk-kantuk. Namun lebih penting baginya bahwa semakin renta dirinya semakin dihormati, meski juga tidak terlalu terperinci baginya apakah dia dihormati sebab memang dianggap bijak ataukah sekadar sebab tua.

Angin pagi masuk lewat jendela yang satu dan keluar lagi lewat jendela yang lain, menciptakan udara semakin sejuk, meski dinding kayu itu mulai memantulkan cahaya keemasan matahari. Mereka telah menunggu semenjak pagi buta saat Kyai Sepuh belum bangun. Setelah mandi dan sarapan Kyai Sepuh muncul, mengulurkan tangan untuk diletakkan di dahi tamu-tamunya, lantas duduk bersila di tikar itu.

Sampai usang sekali orang-orang menunggu. Di luar semakin banyak orang berdatangan dan tidak bisa masuk ke dalam sebelum orang-orang yang di dalam keluar. Beredar kabar Kyai Sepuh belum menyampaikan apa pun semenjak tadi.

“Kyai tidak selalu menyampaikan sesuatu,” kata seseorang.

“Barangkali Kyai memang tidak akan menyampaikan apa pun,” kata yang lain.

“Kyai memang tidak perlu menyampaikan apa pun,” kata yang lain lagi.

“Kyai akan menawarkan tanda-tanda.”

Seperti mendapat jalan keluar, semua orang menunggu. Jika tidak menyampaikan sesuatu, Kyai Sepuh semestinya menawarkan penanda, sebagaimana telah ditafsirkan selama ini oleh para pencari petunjuk. Sedangkan kalau menyampaikan sesuatu, kata-kata Kyai Sepuh tidak akan menunjuk langsung, jadi menyerupai penanda-penanda juga.

Akibatnya, selain merujuk Kyai Sepuh, para pencari petunjuk harus memanfaatkan jasa para juru tafsir di sekitarnya. Tidak terlalu terperinci bagaimana mereka bisa muncul dan menjadi penggalan dari keberadaan Kyai Sepuh, yang terperinci kadang kala ongkos balas jasa bagi juru tafsir ini jauh lebih besar daripada balas jasa sukarela kepada Kyai Sepuh. Berapa? Jika Kyai Sepuh tidak pernah mengucapkan apa pun soal balas jasa, para juru tafsir ini selalu mengatakan, “Tahu sendiri.” Supaya tidak melaksanakan kekeliruan, orang-orang yang membutuhkan petunjuk Kyai Sepuh ini pun akan menawarkan imbalan lebih dari pantas, yang kadang kala diterima dengan menggerutu.

“Kalian ini katanya membutuhkan pertolongan, dan petunjuk Kyai akan menuntaskan kasus kalian, kenapa begitu malas menawarkan imbalan? Jangan mau enaknya sendiri dong …”

******

Kyai Sepuh mendadak terbatuk-batuk. Ada yang menduga dia sakit, tetapi para juru tafsir pendapatnya berbeda.

“Siap! Siap!”

“Rekam! Rekam!”

Ratusan orang mengeluarkan telepon genggamnya. Terekamlah bagaimana Kyai Sepuh terbatuk-batuk tanpa ada yang menolongnya. Sampai Kyai Sepuh sendiri terpaksa berpantomim menirukan orang minum, barulah seseorang tiba membawakan air mineral.

Setelah minum, Kyai Sepuh tampak lebih damai meski dadanya masih naik turun. Namun orang-orang sudah mendekati para juru tafsir yang segera membahas penanda berwujud batuk tersebut.

“Coba, berapa kali Kyai batuk?” kata seorang juru tafsir.

Rekaman pun diulang untuk menghitungnya.

“Empat puluh kali.”

“Tiga puluh sembilan.”

“Saya hitung kok empat puluh satu?”

Huss! Kok lain-lain? Mesti yang bener! Lain hitungan lain lagi maknanya!” Seorang juru tafsir memberi komando.

Untuk mencapai kesamaan hitungan di antara ratusan orang ternyata tidak gampang. Lama kemudian gres disepakati, Kyai Sepuh batuk 45 kali.

“Huh, jauh banget. Coba pribadi ditancap saja maknanya tadi, kan salah semua?”

Nah, jadi apakah maknanya batuk Kyai yang 45 kali?

Seorang juru tafsir berkata, “Karena artinya untuk setiap orang dan setiap kasus lain-lain, setiap orang mendapat bisikan yang harus dirahasiakan. Jangan pernah membuka diam-diam ini sebab tuahnya akan pribadi hilang.”

Setiap juru tafsir memberikan hal yang kurang lebih sama kepada orang-orang yang mengerumuninya. Namun ternyata Kyai Sepuh batuk-batuk lagi, dan meskipun begitu rupa parah batuknya, hingga Kyai jatuh tengkurap dan tercekik-cekik, orang-orang lebih cenderung menganggapnya sebagai rentetan penanda belaka.

“Rekam! Rekam! Rekam!”

“Jangan lolos satu gerakan pun!”

Memang benar seseorang menawarkan botol air mineral sambil mengurut-urut punggungnya, tetapi batuknya tidak pernah berhenti lagi, hingga mata Kyai mendelik dan lidahnya terjulur, saat batuknya menyatu tanpa jarak lagi sebagai ketercekikan yang panjang.

Suara absurd terdengar dari tenggorokannya, menyerupai hembusan napas yang keras, sepintas kemudian bagaikan dengkur orang tidur.

Lantas Kyai Sepuh tidak bergerak lagi.

“Dapet semua?” Seorang juru tafsir bertanya.

“Alhamdullillah … dapet!”

*****

Bertahun-tahun kemudian orang masih tiba ke makam Kyai Sepuh untuk mencari petunjuk dan mendapat penanda-penanda. Segenap penanda yang berasal dari insiden kematiannya disebut-sebut telah mengatasi sebagian besar masalah, kalau bukan seluruhnya, berkat pemecahan maknanya oleh para juru tafsir. Kehidupan dan ajal –adakah makna yang bisa lebih besar dari itu?

Sampai kini orang masih berdatangan mendaki bukit, menuju makam Kyai Sepuh yang terletak di bawah pohon dan sengaja dipisahkan dari makam-makam lainnya. Orang-orang bermalam di sekitarnya, memperabukan kemenyan atau hio, lantas menyerahkan diri kepada alam.

Menurut akreditasi orang-orang yang merasa mendapat petunjuk, penanda-penanda dari Kyai Sepuh mereka dapatkan dari bintang-bintang di langit, angin yang berdesir, atau gugur daun yang diterbangkan angin itu. Adakah kiranya yang bisa lebih kaya dari alam semesta sebagai sumber penafsiran segala makna?

Seorang juru kunci telah hadir di makam itu. Beliau sanggup membantu pemecahan makna segala penanda, dan sungguh telah mendapat banyak uang.

Ada juga yang bercerita bahwa Kyai Sepuh muncul dalam mimpinya dan betapa ia menjadi sangat bahagia.

Betapapun telah disebutkan tadi, Kyai Sepuh bukanlah dukun, bukan tukang ramal, bukan pula tukang tenung. Kyai Sepuh hanyalah seorang pemain teater sahaja—tentang ini sudah tidak banyak orang yang mengetahuinya. (*)

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel