Pekerjaan Gelap | Cerpen Khairul Anam


Kau keluar menghampiri suamimu yang sedang duduk di beranda rumah. Suamimu masih sibuk dengan bukunya. Sedangkan kau, tiba dengan kegelisahan yang melililitmu sedari tadi.

Kau duduk disebelahnya, tatapanmu berjalan di seluruh badan suamimu. Dia karam dalam lautan kata, atau mungkin menyengaja menyelam di dalamnya. Hingga beliau tak menyadari kedatanganmu. Kau mendesah, mencoba mencari perhatiannya. Usahamu berhasil, beliau menoleh lantas menutup bukunya.

“Cobalah cari kerja, Sayang. Berjualan koran saja tidak cukup,” katamu lirih, takut menyinggung perasaannya.

“Aku tahu apa yang kau khawatirkan, Sayang. Aku sudah berusaha. Tunggu saja waktunya.” Tangannya menyentuh perutmu yang semakin membuncit. Dia mengusap penuh kasih sayang, bibirnya bergerak-gerak membacakan doa. Kau tersenyum, terharu. Kepala dengan rambut panjang yang tergerai, kau letakkan di pundaknya. Kau dekap mesra tangannya.

Malam menjelang. Dapur berasap, gemercik bunyi radio suamimu menemani jemari-jemarimu memasak. Kau tuangkan air pada panci alumunium yang kau beli dari pasar loakan. Hidup sederhana, kau hanya membeli barang-barang bekas untuk menyambung hidupmu.

Masakan sudah matang. Kau membawakan mangkok berisi sayuran dan tempe goreng pada piring kecil ke ruang tengah. Suamimu sibuk dengan pena dan buku yang tidak kau tahu apa isi buku itu.

“Berhentilah. Ayo makan dulu.” Senyumnya mengiyakan ajakanmu. Dia berhenti, kemudian mengambil nasi, sayur dan tempe.

Kau makan berdua dengan suamimu. Cerita wacana penjualan koran tadi, menemani kesepian kalian di rumah yang terbuat hanya dari kayu bekas rumah-rumah yang dirobohkan kemarin gara-gara tanahnya tidak bersertifikat.

Kehamilanmu sudah menginjak sembilan bulan. Beberapa hari ke depan, mungkin kau sudah melahirkan. Sudah tiga hari, suamimu tidak pulang. Kau sangat gelisah, kepalamu pusing tapi usahamu untuk tetap besar lengan berkuasa menyangga anakmu sungguh perlu diapresiasi.

Benar, tiga hari kemudian, kau dibawa ke rumah sakit oleh tetangga. Tanpa ada halangan apa pun, bayimu lahir sempurna. Kau terkejut, ketika suamimu berjalan di belakang suster yang menggendong bayimu.

Suamimu tiba dan hanya memberi uang seratus ribu rupiah. “Kau pergi ke mana saja dan kemudian pulang hanya membawa uang segini?” katamu kesal. Kali ini, amarahmu begitu meledak, nalar sehat dan nuranimu sudah terbakar hangus oleh api amarahmu.

“Pergi saja kamu. Aku tak sudi melihatmu. Aku sudah muak hidup miskin bersamamu. Biarkan saya di sini, biar saya yang menanggung biaya semua rumah sakit ini. Pergilah.” Baru kali ini kau membentak suamimu dengan sangat keras. Suamimu berdiri, menuruti keinginanmu. Dia sempat melihat bayimu, yang dulu kaujanjikan akan menawarkan nama Alan. Alan menangis seiring langkah ayahnya keluar dari kamar.

*****

Keberuntungan berpihak padamu. Ada yang rela membayar semua biaya persalinanmu. Bayimu juga tumbuh sehat. Banyak kerabat, saudara dan teman-temanmu yang tiba menjengukmu. Sejenak, kenangan wacana suamimu kaulupakan. Kau belum benar-benar bercerai dengannya, tetapi kau menentukan menganggapnya tiada.

Tiga hari berlalu, tiba-tiba ada kerinduan yang memercik di hatimu. Kau rindu ketika hangat-hangatnya bercengkerama dengan suami, kau rindu ketika kau bercanda ria dengan suamimu. Kau rindu semuanya wacana suamimu.

Berulang kali kau tanyakan pada teman-temanmu dan sahabat suamimu, namun tak ada yang tahu keberadaan suamimu. Kau menangis terpekur di beranda. Alan kecil kau peluk erat.

Suatu malam, ketika hujan deras dan topan menerpa rumahmu. Datang seorang lelaki yang seumuran suamimu. Kau tak mengenalnya, dan sangat asing.

Dia tiba dengan raut wajah yang menyedihkan. Tak ada kebahagiaan yang memancar dari setiap sudut wajahnya. Dia duduk, mengatupkan payung. Senyum ramah dan salam yang penuh kelembutan, menyapamu yang terbengong di bingkai pintu.

“Maaf Anda siapa ya?” tanya ragu penuh ketakutan.

“Tenanglah. Aku tidak akan menjahatimu. Aku hanya ingin memberikan wasiat untukmu.”

“Suamimu meninggal dua hari sehabis kelahiran anakmu. Dia meninggalkan banyak harta yang selama ini beliau sembunyikan darimu. Dia gotong royong yaitu penulis. Pekerjaan terangnya yaitu penjual koran, sedangkan pekerjaan gelapnya yaitu penulis. Puluhan buku best seller yang ada di rak utama toko buku itu semua miliknya. Dia menggunakan nama Alan. Supaya orang tidak mengenalinya, terlebih kamu.” Orang itu menghela napas. Matamu mulai berkaca-kaca.

“Tapi mengapa beliau sejahat itu, mengapa beliau tidak memberitahuku wacana semua ini?”

“Bukan beliau yang salah, tetapi kau sendirilah yang memintanya. Ingatkah waktu sebelum menikah. Kau katakan padanya kalau kau ingin hidup sederhana dengannya sampai nyawa tak lagi ada di raga. Ingatkah kau bilang ingin mengajarkan anak-anakmu kesederhanaan biar anakmu tidak seenaknya dengan orang lain. Dan ingatkah kau, akad yang kau ucap akan mendapatkan suamimu apa adanya, kenapa kau melupakan semuanya? Suamimu takut, bila ia memperlihatkan kekayaanya maka kau akan marah, sebab tidak mewujudkan harapanmu. Kau juga tidak mau tahu, beliau memiliki penyakit paru-paru akut yang selama ini beliau pendam sendiri. Tiga hari sebelum kelahiranmu anakmu, beliau melaksanakan basuh darah untuk sanggup menyambung hidup dan melihat anaknya. Tetapi sehabis bertemu, kau usir dia. Untuk kau beliau bertahan hidup selama ini. Mengapa kau tidak mau tahu?”

Tangismu pecah. Teriakanmu mengalahkan gemuruh awan dan gemercik hujan. Kau menangis sejadi-jadinya, meratapi semuanya. Tapi sudah terlambat. (*)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel