Para Hero Mistik | Cerpen Sunlie Thomas Alexander


BEBERAPA tahun silam, tatkala Belinyu masih tampak kurang jelas dalam foto satelit Google Earth, banyak orang di kota kecilku itu meyakini penyebabnya yakni jimat-jimat yang ditanam para dukun semasa Perang Dunia Kedua.

“Tak ada satu pun bom yang dijatuhkan Zero mengenai permukiman,” begitulah kesaksian pamanku, Fuad, yang pada dikala tragedi berusia 14 tahun. Dia ikut menyambut bala tentara Dai Nippon dengan bendera Hinomaru ketika pasukan yang menurutnya memang berpostur pendek-pendek itu berbaris memasuki kota kecil kami, kemudian dengan cepat menduduki tempat-tempat penting ibarat PLTU Mantung, kantor wedana, dan kantor Banka Tin Winning [1].

Siang-malam, pesawat-pesawat Jepang tak henti-hentinya melintas lewat, terkadang terbang cukup rendah dengan bunyi dengung yang menyakitkan telinga. Itu kata ayahku. Dia tujuh tahun lebih muda dari Paman Fuad. Tetapi, bersama kawan-kawan sebayanya, dengan cukup terperinci ia menyaksikan bagaimana bom-bom itu dijatuhkan oleh Zero. “Seperti kawanan belibis bertelur di udara,” ungkapnya nyengir.

“Belanda dan orang-orang China panik luar biasa begitu mendengar Jepang bergerak cepat menuju Singapura. Meskipun mereka tak menduga Singapura akan jatuh dengan mudah. Listrik dipadamkan, seluruh tempat pasar gelap gulita. Tapi, kita tenang-tenang saja nyalakan lampu minyak. Tak ada warga Melayu yang mau menuruti perintah semoga tak nyalakan penerangan di malam hari,” lanjut Paman Fuad.

“Benar-benar tak ada bom mengenai rumah warga?” tanyaku takjub.

“Tidak ada. Satu pun tidak ada. Ruko-ruko orang China di sepanjang pasar juga tak ada yang terkena bom. Itu alasannya yakni di sekeliling Belinyu telah ditanami jimat-jimat pelindung, mulai dari Mapur hingga ke Pejam. Dari udara, orang-orang Jepang itu tak sanggup melihat ke bawah dengan jelas. Seluruh tempat Belinyu ibarat ditutupi oleh kabut tebal.”

Ia berhenti sejenak untuk menyulut sebatang rokok kretek buat kesekian kalinya, mengisap rokok itu dengan gaya santai kemudian meneguk kopi kental di cangkirnya yang tinggal setengah.

“Tapi, wilayah bahari di sekitar perairan Bangka tidak terlindung dan menjadi target empuk. Banyak kapal Belanda ditenggelamkan. Aku ingat ada satu kapal barang dari Tanjungpandan menuju Batavia diserang oleh pesawat Jepang di Selat Gaspar. Lebih dari 30 orang tewas, kebanyakan pegawai rumah sakit. Di antaranya kepala listrik Tanjungpandan yang dulu pernah bertugas di sini.”

*****

Paman Fuad kemudian bergabung dengan Giyugun sehabis Bangka diduduki Tentara ke-25 yang bertanggung jawab atas Sumatera dan Malaya. Entah sudah berapa puluh kali ia memamerkan dua lembar fotonya yang berseragam paramiliter Jepang itu kepadaku dengan bangga.

“Jepang itu sesungguhnya tidak sejahat yang diceritakan. Cerita kekejaman Jepang itu banyak dilebih-lebihkan dan dibumbui oleh orang China yang memang benci sekali pada mereka karena dendam. Kalau bukan alasannya yakni Jepang, kita ini entahlah hingga kapan dijajah oleh Belanda.”

Aku hanya mendengarkan, tidak mencoba membantahnya. Apalagi ketika Paman Fuad kembali memuji-muji latihan militer yang pernah diperolehnya dari Dai Nippon. Ia kemudian bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia yang disingkat API pada zaman aksi militer Belanda. Meski demikian, satu-satunya foto berseragam yang terpasang di ruang tamu rumahnya yakni fotonya dengan seragam veteran sedang mendapatkan lencana kehormatan dari bupati pada upacara bendera 17 Agustus 1983. Foto yang sepertinya sudah direpro di studio foto itu terpigura rapi dan tergantung di dinding papan yang merapuh bersama foto-foto lain.

Ayahku belakangan menambahkan bahwa kebanyakan bom yang dijatuhkan Zero hanya mengenai tubuh jalan, hutan, dan kebun-kebun tak berpenghuni atau jatuh di kolong [2] bekas tambang dan rawa-rawa. Sebuah bom—yang bentuknya sanggup kamu lihat di bungkusan Mie Telor Cap “Atom”—jatuh di samping pasar ikan, kata ayah. “Tepat di toko pancing Bong Mo sekarang. Tempat itu dulunya rawa-rawa. Istri Ai Cai Siong, pemilik warung kopi, hingga menjerit histeris dan jatuh pingsan dikala bom yang cukup besar itu mendarat di sebelah warungnya.”

Tetapi, ayahku lupa, kapan persisnya bom itu disingkirkan sehabis bertahun-tahun lamanya dibiarkan saja tergeletak di sana dalam posisi setengah menyamping, dengan moncong terbenam ke dalam lumpur yang mengeras. Anak-anak, termasuk paman bungsuku Ahmadi, kemudian suka naik ke tubuh bom itu dan bermain-main di atasnya. “Kami sering memukul-mukul tubuh bom dengan kayu atau batu. Bunyinya trang-trang-trang nyaring. Untung saja tidak meledak,” kata Paman Ahmadi sambil menarik napas lega ketika saya bertanya.

Yang kemudian membuatku tercengang (dan kukira juga sedikit bangga) yakni dikala saya mengetahui bahwa salah satu dukun yang menanam jimat-jimat penghalau serangan udara Jepang itu tak lain almarhum kakekku sendiri!

*****

TIDAK banyak yang kuketahui ihwal Atok. Ya begitulah kami cucu-cucunya memanggil beliau. Maklum, ketika dia meninggal, saya gres duduk di kelas IV SD. Meski begitu, saya masih ingat bagaimana nyaris saban hari orang-orang tiba ke rumah meminta proteksi kakekku. Mereka yang sakit menahun, kena santet, kerasukan, juga yang berat jodoh atau tak kunjung punya anak. Dan Atok mengobati mereka dengan segelas air putih yang dijampi-jampi.

Kemudian, kudengar dari seorang renta di kampungku bahwa Atok yakni anggota tentara gaib. Pasukan ini syahdan dibuat oleh Kolonel F. Manusama, komandan TRI Resimen Bangka, yang memimpin pertempuran termahsyur di Tanjung Berikat. Ketika itu, sang kolonel gres saja diangkat sebagai komandan TKR Bangka oleh Komandan Resimen I Divisi II TKR Palembang Kolonel Bambang Otoyo.

Sadar kalau kekuatan mereka tidak seimbang dengan tentara NICA, baik dari segi persenjataan maupun jumlah personel, Manusama mencoba memanfaatkan segala pontensi yang ada dengan mengumpulkan para dukun dan cowok yang mempunyai ilmu kesaktian. Pasukan itu dipimpin oleh Bakar Besak, sosok yang sudah melegenda di seluruh wilayah Belinyu, bahkan Pulau Bangka. Ia yakni dukun terkemuka di daerah Pejam pada masa itu. Besak dalam bahasa Melayu Bangka artinya besar. Namun, jangan dikira ia seorang lelaki berbadan besar. Justru sebaliknya—menurut kesaksian orang-orang kampungku yang mengaku pernah bertemu dengan beliau—Bakar Besak yakni seorang lelaki kurus kecil.

Tak seorang pun pernah melihatnya lagi selepas tragedi penghadangan TRI terhadap iring-iringan pasukan NICA yang bertolak dari Muntok menuju Pangkalpinang di Bukit Ma Andil, perbatasan Desa Petaling dan Cengkong Abang, Mendo Barat, yang bertahun-tahun kemudian akan dikenang sebagai Peristiwa Palagan 12. Ia lenyap begitu saja, seperti ditelan bumi. Ada yang menyampaikan ia menyepi di Gunung Maras atau Rimba Bulin, ada pula yang meyakininya berada di Bubung Tujuh, tujuh buah rumah pertama leluhur Urang Lom [3] yang lokasinya tak pernah sanggup diketahui.

“Wak Bakar menghilang selepas penyergapan TRI terhadap tentara NICA di Kilometer 12 itu. Persisnya sehabis sahabatnya, Muhammad Nor, gugur ditembak Belanda,” kata si orang renta yang kupanggil Amang.

Muhammad Nor juga tercatat sebagai pimpinan TRI Kompi Petaling. Konon ia mempunyai ilmu kebal dan ilmu ngelimun yang menciptakan sosoknya tak terlihat oleh pasukan NICA. Tetapi, dalam buku Palagan 12: Api Juang Rakyat Bangka karya Ichsan Mokoginta Dasin dan Dody Hendriyanto terbitan CV Central Media Printing, Pangkalpinang (2009), dikatakan ia sebetulnya gugur dalam pertempuran sebelumnya di Kilometer 16 pada 14 Februari 1946, bukan di Kilometer 12. Sehingga ia tidaklah tercatat sebagai salah satu dari dua belas anggota TRI yang gugur pada 12 Rabiulawal 1367 Hijriah, sempurna pukul 12.00 siang itu.

Diceritakan dalam buku ini: Dengan mengambil posisi paling depan di bawah pohon jengkol (ada yang menyebut pohon rukam), ia memuntahkan peluru-pelurunya ke rombongan pasukan NICA yang memasuki garis pertahanan Kilometer 16 Petaling. Serangan yang tak diketahui dari mana arah datangnya itu menciptakan tentara Belanda kocar-kacir. Namun, serdadu NICA mengerahkan serangan tanggapan dengan gencar ke barisan anak buahnya dan menciptakan pasukannya terdesak hebat. Dalam keadaan panik itulah, salah seorang anak buahnya lantas berteriak memanggil namanya semoga segera mundur bersama-sama. Tetapi celaka, rupanya inilah pantangan bagi kesaktiannya! Ketika namanya disebut, segala kehebatan ilmu ngelimun dan ilmu kebalnya pun luntur seketika sehingga sosoknya eksklusif terlihat oleh musuh. Ia eksklusif diberondong senapan tentara NICA.

Muhammad Nor dimakamkan oleh penduduk setempat di TPU Desa Petaling dan pada 8 November 1973 jenazahnya dipindah pemerintah ke Taman Makam Pahlawan Padma Satria, Sungailiat. Tetapi, ada banyak anggota tentara mistik yang tak pernah tercatat sebagai Bunga Kusuma Bangsa, bahkan tidak pernah dimakamkan….

*****

TUNGGU, mereka bukanlah para pejuang tanpa nama ibarat yang ditulis Toto Sudarto Bachtiar dalam puisinya Pahlawan Tak Dikenal. Malahan mereka sesungguhnya sama sekali bukan manusia.

Ya, selain para dukun dan cowok yang menguasai aneka macam kesaktian, konon atas perintah Kolonel F. Manusama dengan persetujuan Masyarif Datuk Bandaharo Lelo (bekas ketua Syu Sangi Kai) yang ketika itu ditunjuk sebagai Residen Bangka, Bakar Besar, juga merekrut bermacam-macam jenis makhluk mistik yang berkeliaran di seantero pulau kami ibarat Mencaden, Mawang, Cindai, Anton atau Hantu Kulung, Hantu Lelep, Hantu Berasu, hingga Nek Gergasi, hantu yang paling saya takuti semasa kanak-kanak dan kerap menyambangiku lewat mimpi buruk.

Nek Gergasi yang juga sering disebut Nek Yot oleh orang-orang kampung yakni sosok hantu pemangsa bayi berwujud nenek-nenek berambut panjang yang mempunyai kuku dan taring runcing. Biasanya ia akan muncul di suatu kampung kalau ada kelahiran bayi alasannya yakni mencium kedaluwarsa bau darah. Waktu SD, temanku Hasan mengaku pernah mendengar tawa Nek Gergasi.

“Ia cekikikan disamping dapur kami. Adik kami yang gres lahir menangis tiada henti, Mak kami juga menangis. Ayahku mengokang senapan angin. Nek Gergasi itu gres pergi sehabis Mang Amrin, tetangga sebelah rumah kami, tiba dan membacakan ayat-ayat suci,” tukasnya. Namun, tak banyak dari kami yang percaya ceritanya ketika itu. Maklum, Hasan populer sebagai pembual. Ia bahkan berani membohongi ibunya sendiri dengan menjajankan iuran sekolahnya. Saat ketahuan, ia dihajar oleh ayahnya dengan ekor ikan pari hingga melolong-lolong.

Toh demikian, selain Burung Kuwok yang suka terbang sungsang di malam-malam bulan mati utuk menyerap aura bayi, hantu yang paling kerap meneror warga kampung yakni Mawang. Mereka tinggal di hutan-hutan lebat dan kedatangannya selalu ditandai oleh angin yang tiba-tiba berembus kencang serta kedaluwarsa sangat menyengat. Kendati tak suka mengganggu insan secara langsung, makhluk dengan ekspresi melintang vertikal di tengah wajah dan bergigi runcing ini gemar memangsa ternak. Sering kali di pagi hari warga kampung kami menemukan ayam-ayam peliharaannya tercabik-cabik, juga kambing bahkan sapi. Hanya saja ayam-ayam peliharaan kami tidak pernah diganggu.

“Kakekmu itu disegani oleh Mawang alasannya yakni ia pernah berjuang bersama mereka pada masa Agresi Militer Belanda II,” ujar ayahku mengulum senyum. Aku tidak sanggup membayangkan ibarat apa pertempuran-pertempuran yang melibatkan makhluk-makhluk menyeramkan itu. Namun, beberapa tahun silam saya sempat membaca wawancara dengan seorang blasteran Indo-Belanda mantan tentara NICA yang menentukan menjadi WNI di sebuah harian lokal. Kepada wartawan, si mantan NICA itu mengaku bahwa arak-arakan truk mereka menuju Pangkapinang pernah diserang api-api terbang yang dikenal oleh orang-orang kampung kami sebagai Hantu Pulong.

Mau tahu makhluk-makhluk mistik apa saja yang paling tangguh di medan perang?
Mereka yakni Cindai yang berwujud ibarat singa raksasa, Hantu Lelep yang ibarat lutung, dan Hantu Berasu dengan pasukan anjing silumannya. Jatuhnya korban begitu banyak di pihak Belanda sekalipun mereka telah dibekali persenjataan modern pada pertempuran di Kilometer 12 Petaling, kata Paman Fuad, yakni berkat keganasan tiga jenis makhluk mistik itu.

“Ketika Belanda pertama kali mencoba merapat ke Pelabuhan Muntok, mereka juga dihalang-halangi Hantu Lelep dan Hantu Buyut hingga terpaksa berbalik haluan. Bukan karena ditembaki secara gencar oleh TRI ibarat kisah banyak orang. Itu tidak benar! Mana mungkin dengan senjata seadanya TRI sanggup menghadang kapal-kapal perang Belanda yang begitu canggih?” tukasnya, kemudian tertawa kecil. “Ombak Selat Bangka yang semula damai waktu itu tiba-tiba bergolak jago hingga air bahari berpusar-pusar.”

Selain disuruh mencuri persenjataan dan materi makanan dari gudang-gudang Jepang, makhluk-makhluk ini berdasarkan pamanku juga ditugasi untuk mengganggu orang-orang Tionghoa yang merayakan kemenangan sekutu dengan gegap gempita, baik mereka yang berdiam di ruko-ruko di tempat pasar maupun di perkampungan-perkampungan China.

“Awalnya sih hanya untuk menakut-nakuti alasannya yakni banyak orang China dianggap pro-Belanda. Tetapi, makhluk-makhluk itu, kamu tahu, sulit dikontrol. Tanpa sanggup dicegah, mereka jadinya mulai memangsa ternak-ternak babi, kemudian menculik bayi-bayi dan anak balita. Hal ini menciptakan orang-orang Tionghoa ketakutan dan kalang kabut.”

Pao An Tui yang memang sengaja dibuat oleh masyarakat Tionghoa untuk melindungi nyawa maupun harta benda mereka pun kemudian disiagakan. Tetapi, mereka malah terlibat kontak senjata dengan TRI, yang dengan segera meluas ke hampir seluruh pelosok Bangka. Awalnya berbekal persenjataan yang diberikan oleh NICA, Pao An Tui berhasil meraih sejumlah kemenangan di Pangkalpinang. Namun, keadaan eksklusif berbalik dengan cepat begitu tentara mistik diterjunkan tengah-tengah medan pertempuran.

“Di Belinyu, tepatnya di Parit 40, Parit 11, Parit 3 Bubus, dan Remodong, mereka diserang dengan buas buah tangan makhluk-makhluk mistik itu hingga lari kocar-kacir menyelamatkan diri ke hutan-hutan dan di sana kembali menjadi target empuk cakar dan taring Mawang. Puluhan personel Pao An Tui tewas mengenaskan dengan wajah dan tubuh tercabik-cabik,” kisah Paman Fuad yang mengaku pada dikala pertempuan Palagan 12 berlangsung, dirinya sedang terjangkit malaria.

Aku pernah mencoba mengonfirmasi kebenaran kisah ini kepada orang-orang Tionghoa di Parit 3, tetapi tidak ada seorang pun yang mau bercerita. Hanya nenek sahabat lamaku Fuk Ngian yang berkenan berkomentar singkat: “Zaman itu memang banyak setan, Nak!”

Ah, tentu tak ada yang tahu berapa banyak makhluk-makhluk mistik itu yang turut gugur dalam aneka macam pertempuran. Itu pun kalau kata “gugur” boleh dipergunakan bagi mereka. Ya, sehabis Bong Djun Sen, pimpinan tertinggi Pao An Tui di Bangka, memerintahkan pasukannya untuk menyepuh sebagian peluru mereka dengan cairan emas dan perak.

Konon ketika itu dewa-dewa China juga diundang dengan khidmat di sejumlah kelenteng semoga ikut turun berlaga. (*)

CATATAN:

[1] Perusahaan Penambangan Timah yang beroperasi di Bangka pada masa kolonial Belanda.
[2] Genangan air berbentuk danau yang tercipta akhir penggalian timah.
[3] Orang Melayu Laut yang menetap di Pulau Bangka. Mereka dianggap sebagai penduduk orisinil Bangka. Disebut Urang (orang) Lom alasannya yakni mereka menganut animisme.
[4] Dalam sebuah esainya yang terbit menjadi buku belum usang ini, seorang penulis dan jurnalis kelahiran Bangka pernah memfitnah Pao An Tui Bangka sebagai tentara Tionghoa yang hendak mendirikan sebuah negara merdeka yang didominasi etnis China ibarat Singapura.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel