Pengisah | Cerpen Liven R


Telah 13.149 hari saya berada di daerah ini. Lebih tepatnya selama itu jua saya berada di atas bumi ini. Jika kau spesialis matematika atau seorang perhitungan dalam segala hal, tidaklah sulit bagimu untuk memperkirakan berapa usiaku ketika ini. Ya… sebuah batang usia yang tidak mengecewakan tinggi. Kategori remaja ialah relatif bagi umat manusia.

Aku menyukai tempatku bermukim bersama nenek. Sebidang lahan kosong dengan sebuah rumah bau tanah yang kutaksir berusia lebih bau tanah dariku puluhan tahun. Atapnya saja sudah bocor! Dari daerah tinggalku di simpang perempatan Jalan Damhsyara, saya sanggup dan terbiasa memandang ke segala penjuru jalan. Kanan-kiri, belakangku, hingga ke seberang sana, ke dalam ujung gang kecil di samping Jalan Tumoso itu. Tak heran, saya tahu banyak hal yang terjadi di sini. Kudengar eksklusif dari mulut-mulut bergincu maupun tidak, hingga yang kulihat sendiri.

Aku ingin berkisah kepadamu… dan ini ialah tentang…

*****

Si Buta dan Si Pincang.

Siang yang terik. Kucoba mengibaskan rambut untuk mengusir gerah. Menunduk, dari celah rambutku, saya melihat bayang-bayang bergerak di dalam rumah kosong nan gelap di seberang jalan. Siapa di dalam? Kupicingkan mata. Oh, ada dua insan di situ!

Berjalan cepat, lelaki setengah baya keluar. Mencari-cari, ia masuk kembali. Giliran perempuan muda keluar, hanya sebentar ia sudah melihat kantongan plastik yang ditinggalkannya di depan pagar. Segera diraihnya, kemudian kembali ke dalam.

Aku menajamkan penglihatan. Keduanya membuka pakaian di dalam! Lalu….

Heh! Bersihkan pikiranmu! Tidak menyerupai yang kau bayangkan! Ya…, ya…! Mereka hanya berganti pakaian! Aneh. Baju anggun tak hendak dipakai, justru baju koyak-koyak dikenakan!

Keren…! Ada pertunjukan sulap! Si perempuan kini mendadak buta. Lelaki bau tanah menyeret langkah kakinya yang berat dan berperban tebal, sembari menuntun perempuan buta. Dengan susah payah, mereka menyeberang jalan. Menuju formasi toko yang sibuk dengan acara ekonomi yang cukup ramai.

Oh, sungguh kasihan! Aku hampir menangis. Bayangkan, perempuan buta dengan ayahnya yang telah bau tanah dan pincang pula! Hidup mereka tentu susah! Sutradara mana pun yang melihat adegan ini akan eksklusif bersujud dan memohon supaya keduanya bersedia ikut ke Hollywood! Pasti!

Manusia-manusia itu teramat baik. Ilmuwan mana yang bersedia membantuku menjelaskan bahwa ‘baik’ dan ‘bodoh’ itu seringkali relevan? Ah, bagaimana tidak? Dengan segera, kantong mereka telah mengembung. Padahal saya ingin berteriak ‘jangan percaya!’.

Apa daya? Aku hanyalah si bisu!

*****

Sang Terhormat.

Pria bau tanah itu, menyerupai hari-hari biasanya, menenteng dua keranjang besar. Di dekatku, ia menghentikan langkah. Seketika saya mencium aroma keringat dari tubuhnya. Barangkali ia telah berjalan puluhan kilometer semenjak matahari gres bangun. Aku mencoba mengintip isi keranjangnya. Masih setengah bagian!

Mengeluarkan saputangan, ia menghapus keringat di dahi. Di bawah terik matahari, saya ingin memayunginya dengan apa saja yang kupunya. Dia telah berjalan lagi, mengatakan kue-kue berair dagangannya.

Tak semenit, saya melihat Sang Terhormat berjalan tergesa. Seorang laki-laki berpakaian coklat necis dari arah kanan mengangkat tangan menyapa. Tepat di sampingku mereka bertemu, saling bersalaman.

“Sebenarnya lingkunganku tak perlu penerapan proyek ini,” bisik Sang Terhormat.

“Atur saja…” Sembari mengangkat sebelah alisnya, Si Coklat berbisik pelan, seolah khawatir terdengar olehku.

Tawa meledak di antara mereka dengan kelucuan semu yang hanya dimengerti sendiri.

Barangkali demam isu hujan telah tiba semenjak kemarin. Aku menengadah. Awan hitam bergerak cepat. Angin bertiup kencang menembus pori-pori tubuhku.

Akh!”

Keranjang itu menggelinding di bersahabat kakiku. Lelaki bau tanah tergelincir dengan badan berair terjerembab di genangan air. Orang-orang mulai berkerumun.

“Dulu tidak begitu…”

“Iya, lihat genangan air di mana-mana. Rumahku pun kebanjiran sekarang! Proyek yang menyengsarakan!”

“Aneh, katanya proyek untuk mencegah banjir di demam isu hujan. Kenyataannya?!”

“Cepat! Cepatlah tolong Pak Tua…” jerit batinku lirih. Ah, kakiku yang terendam air tak sanggup bergerak!

*****

Pos Serba Guna.

“Di sini. Ya, di sini tepatnya, akan dibangun sebuah pos keamanan!” Pria muda membolak-balik buku hijau di tangannya.

“Lihat ini, nomor 30 telah memberi dua ratus ribu, pintu kuning tiga ratus ribu, dan ….”

“Ah, tunggu suamiku pulang, kubicarakan dulu dengannya.” Bu Sil segera menutup pintu. Dia keluar dari pintu belakang menemui Bu Tari, tetangga sebelah kiri.

“Apa?! Sumbangan? Bangun pos keamanan? Tidak… tidak. Tidak akan kuberikan sepeser pun!” Bu Tari melengkungkan bibirnya.

“Pikir saja, bagaimana kendaraan beroda empat pemadam kebakaran sanggup masuk kalau pos dibangun di bibir gang ini? Sudah sempit, tambah sempit! Huh!”

Bu Sil menganggut.

Bu Tari kembali ke dalam rumahnya demi bel yang berbunyi dua kali.

“Eh, Yang Terpercaya,” sapa Bu Tari dengan keramahan yang tulus.

“Ya, saya sudah mendengar ihwal pos itu. Baik. Baik sekali!”

“Ya, semua ini atas seizin Yang Terhormat…”

“Tentu bagus! Saya mendukung sepenuhnya.” Bu Tari tertawa lebar.

“Sebentar ya, dompet saya di dalam…”

*****

Aku telah menguap untuk kali yang ke dua puluh tiga. Malam sudah demikian larut. Suara cekikikan manja wanita-wanita dalam pos di bibir gang, telah menarikku keluar dari dunia mimpi berulang kali.

Aku bukan petugas ronda, tetapi telah dibentuk berjaga sepanjang malam. Huh!

Cahaya yang samar di ufuk timur, menyentakkanku. Pagi telah tiba!

Aku mengucek mata yang perih oleh kantuk. Di ujung Gang Tiparem, dari dalam pos, keluar tiga perempuan dan dua pria. Berjalan sempoyongan dengan botol bir di tangan. Mereka pergi dalam kegelapan. Aku menarik napas lega. Selamat tiba pagi yang indah dan semoga hari ini aman-aman saja!

Sebuah becak bermesin menderu, kemudian berhenti. Menimbulkan kepulan asap putih di dekatku—membuatku terbatuk sekali.

“Main, yuk!” seru penarik becak mesin berkepala licin kepada kumpulan cowok asongan di persimpangan jalan.

Tak lupa membawa sekotak kartu baru, pos itu kini berubah fungsi lagi. Sunyi; teriakan frustrasi; tawa kegembiraan; bentakan penuh amarah, silih berganti mewarnai pagi bertanggal 2 ini. Aku menahan napas kekhawatiran setiap kali pertengkaran terlihat mewarnai permainan di dalam pos sempit itu. Lalu….

Bagus…, bagus…! Aku bersorak demi mendengar bunyi raungan sirene kendaraan beroda empat Pemberantas Maksiat dari kejauhan. Cepat…, cepatlah tiba! Saksikan semua ini, laksanakan kiprah dan tangkap mereka semua!

Si Kepala Licin serta-merta telah keluar dari permainannya. Berdiri di pinggir jalan, matanya mencari di kejauhan. Heh, akan lari ke mana kau, hah?! Rasakan!

Mobil itu semakin dekat. Tepat di samping pos, kendaraan beroda empat dihentikan. Aku bersiap menonton agresi pemberantasan kemaksiatan!

Tunggu! Ada apa dengan mereka?!

Kepala Licin berlari kecil ke arah kendaraan beroda empat Pemberantas Maksiat. Tersenyum lebar, ia mengulurkan tangannya ke dalam beling kendaraan beroda empat yang segera saja diturunkan. Apa yang diserahkannya? Aku gagal mengintip akhir silaunya matahari!

Tanpa sirene, kendaraan beroda empat Pemberantas Maksiat pun berlalu. Kepala Licin kembali ke dalam Pos Serbaguna. Argh, hanya begitu?!

Uh! Inilah panggung kehidupan dengan segala skenario dan peran. Terkadang saya kecewa, tetapi apa daya? Hanya dalam hening, insan dengan nurani terbersih yang sanggup mendengarkanku berkisah.

Nenek keluar dari rumah tua, melingkarkan kalung pada lenganku. Aku terhibur. Kalung dengan lonceng warna-warni dan bohlam aneka warna seketika menghias tubuhku.

Ah, hingga di sini dulu kisahku. Jika kau bahagia mendengarku bercerita, ingatlah aku: Cemara, si Pohon Pengisah.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel