Simsalabim | Cerpen Seno Gumira Adjidarma


PADA suatu hari di wilayah peristiwa itu datanglah seorang tukang sulap. Bencana telah usang pergi sebenarnya, tetapi kehidupan mereka sebelum peristiwa itu tiba tidak pernah kembali. Sekali korban tetap korban. Entah kenapa sulit sekali mengubah kehidupan mereka sebagai korban. Sekian waktu telah berlalu, tetapi mereka semuanya masih hidup di bawah tenda, masih mengantre jatah makan, dan masih mendapat segala kebutuhan pokok untuk hidup dari sumbangan.

Bencana itu telah meluluhlantakkan jiwa mereka, mengubah mereka dari insan bersemangat yang rajin bekerja dan pantang mengalah menjadi insan yang hanya bisa duduk-duduk dengan wajah kosong. Tiada peristiwa yang lebih memilukan selain peristiwa yang melenyapkan semangat untuk hidup. Hanya mereka yang bisa menegakkan kembali jiwanya boleh dibilang selamat dalam pengertian yang sebenarnya, sedangkan mereka yang jiwanya rontok benar-benar menjadi korban yang mengalami nasib lebih jelek dari kematian.

Pada dikala semacam itulah tukang sulap itu tiba. Ia muncul dari balik bukit dengan busananya yang aneh. Ia mengenakan semacam jas bertambal-tambal yang panjangnya hingga ke lutut dan warnanya tidak terang lagi, yang tentunya menyimpan segenap tipuan sulapnya. Ia juga mengenakan topi kain yang juga kusam tetapi dihiasi bulu-bulu burung dengan warna mencolok. Bulu-bulu burung berwarna kuning, biru, merah, dan hijau. Bulu-bulu burung itu sangat indah. Hmm. Apakah ia telah mencerabutinya dari burung-burung langka? Celananya yang belel dengan banyak kantong juga tidak bisa disebutkan berwarna apa.

Sepatunya yaitu sepatu tenis butut yang masing-masing tampak sekali bukan pasangannya. Ia tidak mengenakan kaus kaki dan sebagian jari kakinya terlihat pada lubang di ujung sepatu yang kiri maupun yang kanan. Sembari turun dari bukit tukang sulap itu meniup seruling, memperdengarkan lagu-lagu yang riang. Anak-anak, yang memang paling cepat melupakan bencana, segera mengikuti tukang sulap itu dari belakang sambil menari-nari. Mereka melompat-lompat mengikuti irama seruling maupun gerak tukang sulap tersebut dan rombongan yang menuruni bukit itu memang segera menarik perhatian. Orang-orang remaja yang semenjak pagi terkantuk-kantuk dan berkaparan di tenda- tenda segera menawarkan kepalanya. Mata mereka yang mengantuk tampak menjadi agak terbuka.

“Siapa lagi ini?”

Mereka memang sudah muak dengan orang-orang yang mengambil laba dari bencana. Orang-orang yang menjadi populer alasannya yaitu memberi sumbangan, orang-orang yang memiliki kepentingan dan teruntungkan kalau diberitakan mengunjungi korban bencana, orang-orang yang tidak bisa memberi apa pun selain mengambil sesuatu dari keberadaan para korban bencana–mengambil gambar, mengambil cerita, mengambil gagasan, mengambil apa pun–dan tidak pernah mengembalikannya sebagai tunjangan yang mengubah keadaan mereka sebagai korban.

Mereka melihat tukang sulap itu segera beraksi.

“Lihat, anak-anak!”

Ia mengeluarkan pisau lantas memotong lidahnya sendiri.

“Hiiiii!” Anak-anak berteriak ngeri.

Lidah itu memang tidak putus, tapi tetap saja mengeluarkan darah. Setelah darah itu habis, ternyata lidahnya baik-baik saja.

“He-he-he!” Tukang sulap itu tertawa melihat belum dewasa ternganga.

Lantas ia mendekati mereka sambil membuka sebuah kotak korek api.

Hiiiiiiiii!” Terdengar lagi belum dewasa berteriak ngeri, belum dewasa wanita bahkan hingga berlari-lari, meski sambil tertawa-tawa geli, alasannya yaitu di dalam kotak korek api itu terdapat jari insan yang terpotong dan berdarah.

“He-he-he-he!” Tukang sulap itu tertawa lagi dengan penuh kemenangan.

“Ayo, jangan lari, ini kan hanya sulap, coba lihat tongkat ini!” Ia meletakkan tongkat itu di punggung jari-jari tangannya, lantas ia miringkan tangannya itu, ternyata tongkat itu tidak jatuh. Anak-anak ternganga.

“Kok bisa, ya?” Anak-anak berpandangan.

“Sakti!”

Tukang sulap itu menyahut.

“Ya, tongkat ini memang tongkat wasiat! Coba lihat!”

Dari balik jas panjangnya yang kumal, ia keluarkan sebuah teko kecil. Ia buka tutupnya.

“Coba lihat, anak-anak!”

Ia masukkan tongkatnya ke dalam teko. Ternyata tembus ke dasar teko. Ia miringkan teko itu. Memang tidak ada air di dalamnya. Bukankah teko itu berlubang?

“Anak-anak, bisakah teko ini untuk masak air?”

“Tidaaaaaakkk.” Anak-anak menjawab serentak. Maka tukang sulap itu memukulkan tongkat wasiatnya ke teko.

“Simsalabim!”

Ia memiringkan teko itu. Ajaib. Keluarlah air yang mengucur. Iaminta seorang anak mengulurkan tangan untuk menyentuh air itu.

“Ah!” Anak itu segera menarik tangannya.

“Panas!”

Orang-orang yang berkerumun itu mulutnya bergumam. Mereka mulai percaya tukang sulap itu sakti. Tukang sulap itu terus beraksi. Ia keluarkan sebatang lilin dari balik jasnya. Ia nyalakan lilin itu.

Terlihat apinya menyala.

“Perhatikan, anak-anak, Bapak bisa mematikan api ini hanya dengan memandangnya!”

Ia memandangi api itu. Beberapa dikala lamanya, api itu belum mati juga.

“Sulap mana pun mustahil mematikan api dengan pandangan mata,” seorang remaja bergumam.

“Barangkali memang bukan sulap, barangkali ia betul-betul sakti,” seorang remaja lain berbisik menyahut.

Mereka perhatikan tukang sulap itu memandangi api. Ternyata api itu kemudian memang mati. Terdengar gumam kagum dari kerumunan insan yang makin usang makin banyak itu.

“Enak benar jadi orang sakti, ya? Barangkali ia bisa mengubah watu jadi onde-onde.”


“Atau mengubah daun jadi uang.”

Rupanya tukang sulap itu mendengar perbincangan tersebut. Ia nyalakan lilin lain yang diambil dari balik jasnya dengan korek api.

“Lihat! Siapa mau uang untuk jajan?”

Anak-anak dan orang remaja menjawab serentak.

Sayaaaaaaaaaaaaa!”

Tukang sulap itu tersenyum.

“Wah, tentu tidak bisa sanggup semua.”

Lantas ia perlihatkan kedua tangannya yang kosong. Setelah itu dihampirinya lilin yang menyala tadi dan diangkatnya dengan tangan kiri. Tangan kanannya meraba-raba nyala lilin, kemudian menggenggam seperti memegang api, untuk dipindahkan ke tangan kiri yang
memegang lilin. Ia tiup lilin itu hingga mati dan meletakkannya di meja yang kebetulan ada di dekatnya. Ketika tangan kirinya dibuka, sudah terdapat uang logam yang eksklusif diberikannya kepada seorang gadis kecil yang manis sekali.

Gumam terdengar riuh rendah alasannya yaitu keajaiban itu.

“Beri kami sejuta rupiah!”

“Ya, beri kami semua masing-masing sejuta! Bapak niscaya bisa!”

Tukang sulap itu tertawa terkekeh-kekeh.

“He-he-he-he!”

Namun ia melanjutkan saja unjuk keahliannya. Tidak terlalu diperhatikannya bahwa bayangan perihal uang yang bisa diciptakan dari ketiadaan memiliki dampak besar kepada manusia-manusia tanpa uang itu.

“Bapak-bapak tidak punya uang rokok? Sebetulnya Bapak-bapak tinggal berkhayal biar khayalan itu jadi kenyataan. Tidak percaya? Coba lihat!”

Tukang sulap itu berpantomim, memerankan seseorang yang menggulung tembakau dengan kertas. Setelah seperti menjadi rokok, diletakkannya rokok yang tidak terlihat itu di mulutnya. Lantas dengan korek api sesungguhnya ia menyalakan rokok khayalan tersebut.

Ajaib. Tiba-tiba di mulutnya terdapat rokok gres yang dinyalakan korek api tersebut. Ia hembuskan asapnya ke udara dengan senyum kemenangan.

“He-he-he-he!”

Orang-orang remaja yang menonton berpandangan. Tukang sulap yang hidupnya selalu mengembara dan tidak pernah membaca koran, menonton televisi, atau mendengarkan radio itu tidak terlalu waspada bahwa wilayah yang dikunjunginya kali ini yaitu wilayah bencana. Ia tidak terlalu sadar betapa kemiskinan yang dilihatnya kali ini tidak terlalu sama dengan banyak sekali macam kemiskinan lain yang telah disaksikannya. Kemiskinan yang satu dengan kemiskinan yang lain baginya tampak sama saja, kumuh dan nestapa, tetapi yang anehnya tidak menjadikan rasa belas baginya.

“Orang-orang yang membahagiakan dirinya dengan mimpi,” pikirnya,

“memang layak dikibuli dengan mimpi-mimpi.”

Dan mimpi-mimpi itulah yang diberikannya kepada mereka, bahwa segala sesuatu bisa berubah dengan seketika. Simsalabim. Bahwa segala sesuatu yang mustahil ternyata bisa menjadi mungkin.

“Dasar bego,” pikirnya pula.

IA sudah siap mengedarkan tampah untuk menampung uang saweran sambil berpikir, “Enak aje mau hiburan gratis,” ketika terdengar bunyi seorang dewasa.

“Bapak, apa yang Bapak lakukan?”

“Oh, itu sekadar sukarela saja, maklum namanya juga cari makan.”

“Bapak tahu tidak, Bapak sedang cari makan di mana?”

Tukang sulap itu gres menyadari bahwa penonton belum dewasa sudah terhalangi oleh jajaran orang remaja yang maju mendekatinya.

“Ya, Bapak dengar-dengar wilayah ini pernah terkena musibah.”

“Pernah?”

Lho!”

Orang-orang itu menggelengkan kepala dan berdecak sebal.

“Kami tidak pernah bisa bangun dari peristiwa alam itu, Bapak, kami ibarat orang-orang terkutuk, ibarat peristiwa alam itu tidak pernah pergi lagi.”

“Oh.” Tukang sulap itu mengangguk-angguk tidak tahu harus menjawab apa.

“Bapak….”

“Ya.”

“Bisakah Bapak mengubah nasib kami?”

Tukang sulap itu mengernyitkan dahi.

“Mengubah nasib?”

“Ya, mengubah nasib. Kami lihat Bapak begitu sakti, mengubah yang ada menjadi tiada dan menjadikan ada dari tiada. Bapak sangat sakti.

Tolonglah kami, Bapak. Hanya seorang tukang sulap ibarat Bapak bisa mengubah nasib kami dari masyarakat korban menjadi masyarakat yang selamat.”

Wajah tukang sulap itu tampak sangat heran. Rambut yang sebagian tertutup topi kain berbulu-bulu burung warna-warni bagaikan semakin memutih seketika.

“Lho, saya ini cuma seorang tukang sulap.”

“Justru tukang sulap itulah yang sangat kami butuhkan sekarang. Sudah lima presiden, seratus menteri, ribuan pejabat, dan orang-orang populer tiba ke mari, dan sudah terbukti mereka tidak bisa mengubah nasib kami. Tolonglah kami, Bapak. Kami telah menyaksikan sendiri betapa Bapak sangat sakti. Tolonglah, Bapak, sulaplah kami.

Tolong, sulaplah kami dari orang yang menderita menjadi orang yang berbahagia. Tolonglah kami, Bapak. Kami tidak minta beras, kami tidak minta uang, kami tidak minta rumah manis dari langit yang eksklusif jadi. Tolonglah kami, Bapak, sulaplah nasib kami biar tidak menjadi korban.”

Orang-orang remaja itu tambah mendekat, hingga tukang sulap itu terdesak mundur.

“Bapak-bapak, mohon sabar dahulu. Saya sama sekali tidak sakti. Saya hanya seorang tukang sulap. Saya memang bermain sulap, tetapi saya tidak bisa menyihir. Sedangkan ilmu sihir, kalau memang ada, juga tidak bisa mengubah nasib. Coba lihat!”

Tukang sulap itu membuka jas panjangnya yang bertambal-tambal.

“Saya cuma menggunakan pisau ganda untuk sulapan memotong lidah, pisau yang ibarat memotong pengecap sebetulnya berongga.”

“Tapi tadi berdarah kok lidahnya?”

“Ah, itu kan teres pewarna. Lihat!”

Ia perlihatkan serbuk teres yang ketika bertemu ludah menjadi ibarat darah.

“Jari dalam korek api itu?”

Maka tukang sulap itu terpaksa membongkar segala rahasianya, bahwa korek api itu memang berlubang untuk dimasuki jarinya sendiri, yang ketika dibantu teres pewarna tampak meyakinkan sebagai jari terpotong yang berdarah-darah. Tongkat tampak tidak jatuh ketika punggung jari-jari tangan dimiringkan alasannya yaitu peranan seutas benang; dinding teko dibentuk rangkap dengan ruang kosong di tengah, sehingga tongkat bisa menembusnya; sumbu lilin ternyata memang terpotong didalam lilin sehingga tentu saja api akan mati; uang logam terdapat dalam lubang pada lilin yang tidak menghadap penonton, dan tinggal
dimiringkan supaya uang jatuh ke telapak tangan; rokok yang muncul dari ketiadaan sebetulnya ada di dalam kotak korek api yang setengah terbuka, dengan akal-akalan menutupi api dari angin, rokok itu disambar dengan mulut–dan asap boleh dihembuskan dengan senyuman.*

Tukang sulap itu mencermati wajah-wajah para pengepungnya. Baru kali ini ia harus membongkar diam-diam ilmu sulapnya. Keajaiban hilang lenyap tertiup angin.

“Bapak-bapak mengerti kan saya hanya seorang tukang sulap, benar-benar tukang sulap, dan alasannya yaitu itu tidak akan bisa mengubah nasib?”

Para korban semula tertegun. Wajah mereka kecewa berat. Namun sejenak kemudian ternyata mereka tetap mendesak.

“Bapak seorang tukang sulap, tolonglah sulap nasib kami. Tolong, Pak, tolonglah kami!”

Tukang sulap itu mundur terus hingga jatuh terkapar alasannya yaitu tersandung sesuatu. Orang-orang tidak menolongnya. Tetap mengerumuninya sambil berdiri. Tukang sulap itu yang kini minta tolong.

“Tolonglah saya, Bapak-bapak, saya hanya seorang tukang sulap miskin yang mengembara dari kota ke kota untuk mencari sekadar nafkah bagi keluarga saya di kampung. Sudah usang saya tidak pulang, Pak, keluarga saya mungkin juga sudah kelaparan kini alasannya yaitu sawah kami disapu banjir bandang. Saya tidak mengerti peristiwa macam apa yang telah Bapak-bapak alami, tetapi percayalah saya mengerti apa artinya tertimpa musibah, Pak, saya mengerti–maafkan kekhilafan saya kalau ada kesalahan yang tidak saya sengaja.”

Seseorang membungkuk dan meraih leher tukang sulap yang masih mengenakan topi dengan bulu-bulu burung warna-warni itu. 

“Bapak sama sekali tidak bersalah, tapi Bapak sungguh tega kepada kami kalau tidak sudi menyulap nasib kami.”

Wajah tukang sulap itu betul-betul memancarkan rasa heran yang luar biasa.

“Menyulap nasib? Aku hanya seorang tukang sulap! Permintaan kalian salah alamat! Cobalah untuk mengerti!”

“Hanya tukang sulap bisa menyulap nasib, mohon Bapak juga mengerti! Siapa pun yang pernah tiba kemari tidak bisa mengubah nasib kami! Bapak jangan salah paham, kami sudah meminta kepada pihak-pihak yang kami perkirakan bisa bukan saja menyulap nasib, tetapi juga menyulap apa pun dengan kekuasaannya–kenyataannya nasib kami tidak pernah berubah! Bukan kami tidak pernah berusaha, Pak, tetapi keadaan kami tidak memungkinkan kami berbuat apa-apa! Sekarang impian kami tinggal kepada Bapak! Tolong, Pak, sulaplah nasib kami!”

Tukang sulap itu melihat wajah-wajah yang frustasi sekaligus murka.

Ia merasa kehilangan daya.

“Tuhan, selamatkanlah saya,” ungkapnya dalam hati, dan mulutnya komat-kamit berdoa.

“Tukang sulap! Engkau sungguh tega kepada kami! Sungguh tega kepada kami!”

Ia masih memejamkan matanya ketika teriakan-teriakan itu makin keras saja terdengarnya. Dalam kegelapan ia merasa tubuhnya ditendang dan digebuki.

Dari kejauhan kerumunan itu ibarat bukit insan yang bergerak- gerak. Kadang-kadang terlihat pantulan senjata tajam dalam cahaya matahari. Anak-anak sudah pergi menjauh, menyaksikan semua kejadian itu dari atas bukit.

Ketika senja tiba, tinggal bulu-bulu burung warna-warni terserak ditempat itu, diatas rerumputan.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel