Tabung Tawa | Cerpen Ken Hanggara



Seandainya di bumi ini setiap insan dijatah mempunyai tawa dengan volume yang sangat terbatas. Misalnya, tawa satu orang insan disimpan di dalam tabung tertentu, sehingga tidak ada yang sembarangan melempar tawanya, demi berjaga-jaga supaya suatu ketika seseorang tidak kehabisan tawa untuk hal-hal yang tidak penting.

Aku sudah membayangkan hal ini, sekalipun Tuhan tidak memberi tahu para nabi dan rasul bahwa setiap insan mempunyai jatah tawanya masing-masing. Jadi, berdasarkan keyakinanku (dan semoga ini benar), tawa setiap jiwa disimpan dalam satu tabung yang tersembunyi di dalam tubuhnya.

“Kamu sudah gila. Sebaiknya kau bawa dirimu ke hebat saraf, atau mungkin sudah saatnya kau resign. Pekerjaanmu yang gila benar-benar membuatmu gila!” kata satu orang temanku.

Aku bekerja di sebuah kantor yang mengurus hitungan angka hingga berbelas digit, dan bukan cuma itu saja; kalau salah, risiko besar menghabisiku. Aku dihentikan salah hitung dan harus akurat. Aku memang selalu sanggup diandalkan dalam urusan ini, tetapi lantaran inilah saya cepat tua. Kata ibuku, pekerjaanku gajinya gede, tetapi ibuku tahu di kepalaku telah tumbuh beberapa helai uban yang seharusnya belum waktunya ada di sana.

Temanku beropini bahwa keyakinanku akan adanya tabung tertawa disebabkan oleh pekerjaanku. Setiap hari saya bertemu angka-angka dan jarang tertawa. Aku lebih sering membisu dan hampir selalu bersitegang dengan siapa pun yang kuhadapi, kecuali bos tentu saja, ketimbang tertawa.

Aku bersitegang dengan orang-orang di luar kantor bahkan untuk hal-hal sepele. Aku sanggup saja emosi menghadapi tukang sate pagi ini, dan nanti siang saya kembali emosi lantaran merasa ada tindakan yang kurang didik dari seorang penjaga kios fotokopi. Kukira itu masuk akal pada mulanya; saya merasa marahku bukan tanpa alasan. Namun lama-lama orang menganggapku sombong. Semakin ke sini, saya malah dianggap robot.

“Kamu insan robot yang tidak sanggup tertawa. Kamu insan yang kaku dan tidak berilmu berbasa-basi,” kata sahabat yang lain. Aku dianggap gampang tersinggung dan tidak tahu lelucon-lelucon dasar yang harusnya anak SD saja paham.

Setelah tuduhan itu, saya tidak pernah damai dalam tidur. Di kepalaku bukan cuma ada angka-angka, tetapi juga wajah orang-orang yang mencibir dan tertawa. Kupikir tak ada seorang pun yang seharusnya tertawa tanpa alasan. Bahkan, hal sekecil diriku-yang- dianggap-robot, mereka sangat gemar menertawakannya. Padahal, bukankah itu urusan diriku pribadi?

Itulah yang kemudian mendasariku membayangkan bahwa setiap insan punya jatah tawanya masing-masing. Jatah tawa itu disimpan Tuhan di dalam semacam tabung, dan tabung tersebut cukup diselipkan di sela-sela organ tubuh. Tidak ada dokter mana pun yang tahu, tentu saja atas kehendak Tuhan. Seandainya itu memang terjadi, kukira tidak akan ada lagi tawa sia-sia di muka bumi ini.

Semua orang menertawakanku secara sia-sia. Itu lantaran mereka tidak tahu yang kualami di kantor dan risiko yang kutelan kalau hingga salah hitung angka berbelas digit itu. Mereka sesuka hati mengumbar tawa seakan saya robot betulan yang sanggup mereka perbaiki dengan tawa kedaluwarsa itu.

“Sekali-kali pergi cari cewek, Bung,” kata mereka.

Aku tak pernah memikirkan hal lain secara serius selain pekerjaanku. Urusan apa saya tidak punya pacar, sekalipun umurku sudah menjelang angka tiga, itu bukan soal. Ibu saja tidak pernah mendesak-desakku untuk cepat kawin. Ibu hanya prihatin dengan uban yang satu demi satu mulai bertumbuhan di kepalaku.

Ibu menyarankan supaya saya sesekali tertawa supaya uban-uban itu rontok. Ibu tahu saya enggan kalau seseorang duduk di belakangku dan ia memegang pinset untuk mencabuti rambut-rambut putih yang tumbuh berpencar di kulit kepalaku. Aku tak suka lantaran itu membuatku tampak konyol.

Aku sendiri bukan membenci tawa, dengan kondisiku yang menyerupai kini ini. Di awal bekerja dulu saya pernah tertawa beberapa kali di jam istirahat hanya supaya saya tak jadi stress dan gila lantaran setiap hari menghadap angka-angka. Bahkan, orang pencinta matematika sepertiku saja butuh hiburan dan saya tahu itu.

Tapi, ketika itu, tertawa membuatku celaka. Aku tertawa dan satu digit angka salah kumasukkan, sehingga bos memarahiku dan membawaku ke suatu tempat. Itu semacam kastil drakula, tetapi saya tahu di Indonesia tidak ada kawasan semacam itu. Aku juga tahu mungkin kawasan itu hanyalah rumah insan biasa yang didesain menyerupai kastil drakula supaya tidak ada maling yang berani menyatroni.

Bos membawaku ke sana dan menghukumku. Memang benar di sana tak ada yang namanya makhluk sejenis drakula, tetapi di setiap ruangan terdapat banyak sekali macam alat siksa yang membuat otak seseorang kembang-kempis dan mungkin meledak. Ini tidak masuk akal. Memang tidak masuk akal. Dan tidak semua orang patut percaya, tetapi itu memang terjadi. Aku dieksekusi di salah satu alat dan merasa nyawaku di ujung pedang. Bos bilang, “Jika kau masih mau hidup, sebaiknya nggak usah tertawa-tawa!”

Sejak itu, saya berharap semoga Tuhan memang membuat tabung khusus guna menampung tawa setiap manusia. Jadi, tawa itu dijatah dan tidak ada orang yang sanggup secara sembarangan tertawa lepas. Tertawa harus beralasan: dalam rangka komedi dan tidak membuat seseorang rugi besar.

Bosku punya keyakinan, setiap angka yang salah, sama dengan selangkah kepada maut. Aku dan semua pegawai ketakutan, dan itulah yang membuat kami risikonya jadi malas tertawa. Kami mulai merekayasa pikiran tertentu yang membuat kami damai lantaran tidak lagi tertawa, kecuali memang sempurna waktunya tertawa, gara-gara mengalami ledekan tidak adil dari orang-orang luar pekerjaan.

Kami dianggap robot dan tidak gaul dan tentu saja kurang piknik. Suatu ketika saya dan teman-teman sedesa pergi piknik untuk memuaskan hasrat tertawa mereka. Dalam sehari itu saya hanya tersenyum empat belas kali, dan tidak tertawa, sehingga orang pun tidak ragu menganggapku insan mati rasa. Padahal semua tahu, pada hari itu, salah satu dari kami tak sengaja menginjak tahi sapi dan ia terpaksa pulang bertelanjang kaki. Banyak perempuan di kawasan wisata tertawa melihatnya yang konyol. Hanya saya yang tidak tertawa.

Kepada seorang sahabat yang agak sanggup dipercaya, kuungkapkan pemikiranku soal tabung tawa.

Kukatakan padanya, “Aku sudah membayangkan, sekalipun Tuhan tidak memberi tahu nabi dan rasul bahwa setiap insan mempunyai jatah tawanya masing-masing. Jadi, berdasarkan keyakinanku (dan semoga benar), tawa setiap jiwa disimpan dalam satu tabung yang tersembunyi di dalam tubuhnya.”

Temanku malah menganggapku gila dan menyuruhku resign.

Kubilang padanya, saya tidak makan kalau resign. Ia pergi dan memintaku jangan menghubunginya lagi. Ia tidak ingin orang-orang di desa mengucilkannya juga, lantaran menganggap membelaku yang tidak patut dibela.

Kenyataan ini tidak cuma saya yang mengalami; teman-teman kantorku juga sama. Di satu kawasan kami pun berkumpul dan setuju membangun kelompok anti-tawa, yang isinya orang-orang serius dengan keyakinan: bahwa setiap insan mempunyai tabung tawa masing-masing, dan kalau terlalu banyak tertawa selama hidup di bumi, maka suatu hari nanti, apabila masuk surga, ia tidak sanggup tertawa, sekalipun di nirwana ada banyak kelucuan.

Kami percaya hal itu dan memegang teguh hal itu. Kami terus menghadap belasan digit angka dan tidak pernah keliru. Kami tidak tertawa dan hari ke hari uban di kepala ini semakin bergerumbul. Satu demi satu, Ibu menghitungnya, hingga ada saatnya Ibu mulai malas, lantaran matanya menua dan tidak sanggup lagi membedakan uban yang sudah dihitung dan uban yang gres bercokol. Itu lantaran saking banyaknya uban di kepalaku.

Bukan cuma dikuasai uban di usia muda, kelompok anti-tawa ini orang-orangnya mulai mengeriput, lantaran barangsiapa benci tertawa, maka waktu menarik berpengaruh kulit wajahnya ke bawah. Aku tidak percaya, tetapi suatu hari kusadari wajah kami memang mulai kisut. Ibu cemas tidak sanggup punya cucu, lantaran saya anak semata wayang dan saya belum kawin. Dan ia pun mulai ke sana kemari mencarikan jodoh untukku.

Aku tidak peduli lagi omongan orang, dan saya terus mencari uang dengan angka-angka sebagai senjataku. Keyakinan bahwa tabung tawaku kelak akan berkhasiat di nirwana tetap kujaga. Akhirnya dua bulan kemudian saya menikah dengan janda beranak lima; ia benar-benar sudah renta dan berumur hampir lima puluh, tetapi saya tidak peduli.

Suatu hari, sahabat yang dulu menjauhiku, mampir ke rumah dan bertanya kabarku. Ia tampak prihatin melihat rambut di sekujur kepalaku memutih rata. Kukatakan bahwa saya baik-baik saja, dan bahwa saya kini sudah sanggup bebas menjalani hidupku yang tanpa tawa, serta tentu saja tanpa mencemaskan omongan orang.

Temanku meminta maaf. Ia sadari semua ini tidak perlu terjadi. Maksudnya, tidak perlu ada ledekan kepadaku, yang hidup sesuai caraku. Juga tidak perlu ada kecaman yang kelompok anti-tawa lakukan terhadap mereka yang suka menganggap hidup cuma sekadar bermain-main.

“Bagaimanapun, kita semua butuh saling menghargai,” kataku menutup pertemuan sore itu. [*]


Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di banyak sekali media.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel