Laki-Laki Yang Menyeret Sebuah Pintu | Cerpen Yudhi Herwibowo
Orang-orang di sekitar daerah itu kemudian segera teringat bila beberapa hari sebelumnya, ada seorang pria yang melintasi desa sambil menyeret sebuah pintu besar dengan tali yang dikalungkan di dadanya. Ia tak bicara apa-apa. Tapi beberapa orang yang melihatnya menyimpulkan jikalau ia hanyalah orang absurd yang kebetulan lewat.
Tapi tentu saja ia bukan orang gila. Ia memang tetapkan tak banyak bicara, alasannya ialah yang dibawanya memang bukanlah pintu biasa. Itu ialah pintu yang dikabarkan oleh kabar angin hari ini. Pintu yang sanggup membawa siapa pun ke daerah yang diinginkannya.
Bertahun-tahun, pria itu tak pernah tahu jikalau pintu yang diletakkan begitu saja di halaman rumah, bukanlah pintu biasa.
Ayahnya tak pernah membicarakan apa-apa wacana pintu itu. Rasanya ada banyak hal yang lebih perlu dibicarakan ketimbang sekadar itu. Walau bersama-sama keberadaannya cukup mengakibatkan tanda tanya. Ukurannya sedikit lebih besar dari pintu-pintu rumah pada umumnya, dan posisinya yang dibiarkan bangkit begitu saja dengan kondisi tergembok dengan rantai besi yang mulai berkarat.
Tapi, itu ibarat dibiarkan seakan bukan suatu yang penting. Saat ia berusia 10 tahun, ayahnya malah lebih menentukan menceritakan wacana jati dirinya, jikalau ia bukanlah anak kandungnya.
“Kau tahu, saya tak pernah menikah, jadi saya tentu tak akan mempunyai anak,” ujar ayahnya. “Sejak muda, saya tahu jikalau saya ditakdirkan untuk hidup sendirian. Tapi, Yang Kuasa berbaik padaku. Melalui burung besar yang kerap melintasi gunung ini, ia mengirim dirimu ke sini. Dan saya merawatmu hingga sekarang.”
Laki-laki itu mengingat sekali kisah itu. Itulah yang membuatnya merasa jikalau semenjak kecil ia sudah mengalami kisah luar biasa. Apalagi hingga sekarang, ia masih melihat burung besar itu mampir ke sekitar rumah ini ditemani kawanannya. Ia akan hinggap di pohon besar di sebelah dingklik panjang di mana ayahnya selalu duduk. Kadang ia membawa sesuatu di paruhnya yang dilemparkan begitu saja di dekat kaki ayahnya.
Seingatnya, barang-barang yang pernah dibawa burung-burung besar itu bukan barang sembarangan. Sebagian tak pernah ia lihat sebelumnya, seperti: ular penuh warna, sejenis buah berbentuk tangan manusia, atau akar pohon yang menguarkan aroma amis.
Barang-barang ini sangat diharapkan ayahnya. Tak banyak yang tahu, bila ayahnya bersama-sama ialah seorang tabib, tapi ia menolak untuk mengobati siapa pun, alasannya ialah dulu pernah gagal dikala mengobati adik kesayangannya. Maka hari-harinya hanya dipenuhi dengan menciptakan ramuan. Bila didengarnya di sebuah desa terserang penyakit tertentu, ia akan tiba ke sana sambil membawa ramuannya.
Barulah ketika ia berusia 15 tahun, ayahnya mulai menceritakan perihal pintu itu. “Kau mungkin semenjak dulu bertanya-tanya kenapa pintu itu bangkit di situ. Tapi saya tak pernah mau menjawabnya. Kini kupikir, waktuku untuk menjawab semuanya. Pintu ini… bukanlah pintu biasa. Itu pintu yang sanggup membawamu ke manapun kamu mau. Ayahku membawanya ke sini, untuk menjaganya. Karena bila pintu ini ada di tangan orang yang salah, saya tak sanggup membayangkan malapetaka yang akan terjadi.”
Laki-laki itu bersama-sama tak terlalu yakin dengan apa yang ditangkap telinganya. Tapi ayahnya kemudian berkata, “Coba kamu masuk ke dalamnya! Bayangkan suatu daerah yang kamu inginkan lebih dahulu, sebelum kamu masuk.”
Laki-laki itu membayangkan sebuah pantai yang indah dengan perahu-perahu nelayan berderet di tepiannya. Setelah menyingkirkan gemboknya, ia mulai membuka pintu. Dan begitu kedua kakinya melewati ambang pintu, yang dilihatnya di depan matanya ialah sebuah pantai ibarat yang dibayangkannya.
Ia buru-buru keluar dengan tatapan tak percaya. Ia kemudian mencoba untuk kedua kalinya. Kali ini dibayangkan sebuah kota besar di mana jalanannya dipenuhi orang-orang. Dan kembali, begitu kakinya melewati ambang pintu, dilihatnya sebuah kota ibarat yang dibayangkannya.
“Ayah ini menyenangkan,” serunya. “Semua sanggup jadi lebih gampang alasannya ialah pintu ini. Tapi kenapa ayah bilang tadi, tak sanggup membayangkan malapetaka yang akan terjadi?”
Ayah menarik napas panjang. “Sebelum pintu ini dibawa ke mari, pintu ini ada di sebuah kota. Penguasa kota membiarkan orang-orang bebas memakainya. Kau tahu apa yang kemudian terjadi? Beberapanya memang hanya mencoba mencari tempat-tempat yang indah. Namun beberapa di antaranya, memanfaatkan pintu ini untuk mengambil barang-barang berharga di daerah yang dibayangkannya. Itulah kenapa penguasa kota itu kemudian menyuruh ayahku membawa pintu ini pergi sejauh mungkin, dan menjaganya supaya tak dimanfaatkan orang lain.”
Dan kini, telah hampir 10 tahun lebih semenjak perbincangan itu. Ayahnya telah usang meninggal. Laki-laki yang awalnya mencoba meneruskan menjaga pintu itu, merasa tak sanggup terus begini. Orang-orang terus beranak-pinak, desa-desa kecil di sekitar gunung yang awalnya hanya ditinggali segelintir orang, terus tumbuh. Beberapanya bahkan sudah ada yang pernah tiba ke sini.
Sungguh, ia tak berani membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Laki-laki itu tetapkan untuk membawa pintu itu pergi dari gunung. Ia teringat ucapan gurunya di hari-hari terakhirnya. “Satu-satunya jalan supaya tak pernah terjadi insiden mengerikan ibarat dulu ialah menghancurkan pintu ini. Dan daerah yang sanggup menghancurkannya hanyalah Sumur Akhirat.”
Sumur Akhirat ialah semacam lubang raksasa di mana lahar gunung bersemayam semenjak beratus-ratus tahun lalu. Di situlah pintu ini harus dilemparkan supaya hancur. Karena pintu itu memang tak mempan dihancurkan dengan cara biasa.
Tapi tentu, itu bukan perjalanan yang mudah. Jaraknya begitu jauh. Bahkan tak terlukis di peta yang dimiliki ayahnya. Terlebih pintu itu juga begitu berat.
Laki-laki itu kemudian mengikat pintu itu dengan tali yang ujung lainnya dikalungkan di dadanya. Di jalan yang lurus, cara ini nampak mudah. Namun di jalan berbatu dan yang dipenuhi pohon, tentu ini bukan cara yang mudah.
Baru melintasi sebuah desa saja, badan pria itu terasa remuk. Ditambah lagi gangguan orang-orang yang nampak ingin tahu. Tapi ia mencoba tak peduli dengan ucapan-ucapan itu. Ia berpikir, begitu ia berusaha akrab, orang-orang itu akan semakin banyak bertanya. Dan ia takut salah bicara.
Berhari-hari kemudian dilewatinya. Ia merasa perjalanannya ibarat tak pernah berakhir. Namun di sepanjang jalan, dikala ia merasa begitu kesepian, ia mencoba menghibur dirinya. Diam-diam ia akan menegakkan pintu dan membuka gembok pintu. Ia kemudian membayangkan tempat-tempat tertentu yang ingin didatanginya. Di sebuah istana milik penguasa kota, di sebuah restoran daerah di mana masakan paling lezat dibuat, bahkan di daerah yang seharusnya tak pernah dipilihnya: di sebuah daerah di mana seorang gadis jelita yang dicintainya berada.
Dan pintu itu benar-benar membawanya ke sana. Gadis itu benar-benar melampaui apa yang dibayangkannya. Tubuhnya tinggi semampai, senyumnya merekah bagai cawan kehidupan yang selalu ingin diteguknya, dan suaranya dikala mendendangkan sebuah lagu terdengar begitu merdu. Sungguh ia ialah gadis paling jelita yang pernah ditemuinya.
Laki-laki itu mengamatinya sepanjang hari. Dari dikala ia menjemur pakaian, memasak makanan, hingga hasilnya ia pergi ke arah sungai untuk mengambil air.
Saat itulah pria itu tetapkan menghampiri gadis itu. Ia mengatakan diri menolong membawakan kendi air gadis itu. Tapi sepanjang perjalanan tak ada yang bicara. Laki-laki itu hanya sanggup melirik gadis itu berkali-kali. Hingga keduanya tiba di depan rumah gadis itu.
Saat gadis itu masuk, pria itu hanya bangkit termangu. Ia mulai ragu untuk kembali ke arah pintu. Terlebih dikala gadis jelita itu muncul di jendela dan tersenyum padanya. Ia ibarat terbang ke awang-awang. Sungguh, sepanjang hidupnya ia tak pernah mengalami perasaan ibarat ini.
Ia menyadari jikalau tak seharusnya di sini. Ayahnya akan murka bila ia mengesampingkan kiprah ini. Tapi sisi batinnya yang lain mencoba membela diri. Sekian usang ia menjadi anak yang penurut, tak pernah sekali pun ia mengecewakan ayahnya, walau bersama-sama ia hanyalah anak angkat. Kini, dikala sebuah bayangan wacana kebahagiaan terpampang terperinci di hadapannya, ia benar-benar tak ingin meninggalkannya.
Sambil meminta maaf dalam-dalam pada ayahnya, ia tetapkan untuk tak kembali.
Pintu itu ditinggalkan begitu saja di tepian hutan itu. Seorang pemburu melihatnya dan mencoba membukanya. Saat itu ia sedang membayangkan sebuah daerah berburu yang dipenuhi rusa dan babi liar. Dan betapa terkejutnya ia dikala melangkahi ambang pintu itu, ia menemukan daerah ibarat yang dibayangkannya.
Ia segera membuatkan apa yang dialaminya itu pada kawan-kawannya. Dan kabar itu bagai menjadi daun-daun luruh yang terhempas angin tak tentu arah. Hanya sehari berselang, orang-orang di sekitar hutan itu mulai berdatangan.
Semakin hari orang-orang semakin menyemut. Satu persatu mulai mendekati pintu itu. Namun di dikala seorang yang berada paling dekat mulai meraih gagang pintu itu, seekor burung besar tiba-tiba muncul di sana. Dengan cengkeramannya, ia segera menarik pintu itu dan membawanya pergi entah ke mana. (*)