Insomnia | Cerpen Teguh Affandi


“Anda benar-benar terjangkit insomnia akut. Sepekan tidak tidur itu batas maksimal tubuh manusia. Anda harus tidur,” kata Dokter Kamal. Pendingin udara menggelontorkan udara di suhu 20 derajat dengan pengharum ruangan aroma citrus.

Hamdani duduk melongo mendengar semua klarifikasi Dokter Kamal. Tubuhnya lesu tidak bergairah. Wajahnya pucat sebab kurang tidur.

“Kalau insomnia ini semakin parah, kesehatan Anda akan terganggu. Yang lebih parah ialah kerusakan organ dalam. Saya sarankan Anda mengurangi pekerjaan dan menenangkan pikiran.”

“Sebenarnya, saya ingin sekali tidur, tapi saya tidak berani tidur, Dok. Pikiran saya tenang, Dok,” Hamdani mengangkat muka dan mengatakan lingkar hitam di matanya yang melebar.

“Lantas apa penyebab Anda tidak bisa tidur?”

“Saya takut tidur?”

“Takut?” Dokter Kamal mendecap heran. Bagaimana mungkin ada orang waras yang ketakutan untuk tidur? Padahal, banyak orang yang bermalas-malasan dan tidur saja seharian. Hamdani pengecualiannya.

“Bagaimana bisa?”

“Setiap saya tidur, saya mimpi buruk. Makanya, saya takut tidur, Dok.”

“Sudah berapa lama?”

“Saya benar-benar takut tidur seminggu ini.”

“Baiklah, saya beri Anda vitamin dan beberapa obat penenang biar pikiran Anda nyaman,” Dokter Kamal menuliskan resep dan menyerahkan kepada Hamdani untuk ditebus di apotek rumah sakit. Dokter Kamal juga menyarankan biar makan dua butir apel hijau sebelum tidur. Kandungan vitamin dan aroma apel akan menciptakan pikiran hening dan gampang terlelap ketika tidur.

Hamdani melangkah keluar dari klinik Dokter Kamal dengan santai. Langkahnya tegap, tapi tampak lemah sebab lelah menanggung beban.

*****

Mimpi–mimpi itu tiba menyerupai borok di tengah padang kenyamanan. Mimpi baik datangnya dari Allah dan mimpi jelek datangnya dari setan. Mimpi yang terjadi di alam khayalan, kemudian bermetamorfosis menjadi kenyataan di kehidupan sehari-hari Hamdani. Seolah, mimpi yang diturunkan kepada Hamdani ialah cuplikan insiden masa depan yang digratiskan Allah kepadanya.

Mimpi pertama yang tiba di tidur Hamdani ialah mimpi bertemu seorang gadis berjulukan Nurjannah. Hamdani duduk di dingklik tunggu kereta. Kaki Hamdani disilangkan di kursi sambil membawa koran pagi hari. Lalu, seorang perempuan tiba-tiba menubruk kaki Hamdani. Wanita itu terjatuh dan terhamburlah semua isi tas yang ditenteng. Kemudian, mereka berkenalan dan saling bertukar nomor telepon. Mimpi itu menjadi konkret tiga hari kemudian.

Hamdani mengambil perjalanan liburan ke Yogyakarta menaiki kereta dari Gambir. Tanpa disadarinya, semua yang dilakukan sambil menunggu kereta berangkat pagi itu persis dengan yang dilakukannya di alam mimpi, beberapa waktu lalu. Lalu, insiden yang pernah dialami Hamdani di mimpi terjadi di hadapan. Dia membaca koran, ditubruk perempuan berjulukan Nurjannah, bertukar nomor telepon.

“Sepertinya, saya pernah mengalami insiden ini,” kata Hamdani pada Nurjannah ketika duduk bersama di dingklik tunggu.

“Maksudmu de javu?” tanya Nurjannah.

“Bukan, beberapa waktu kemudian saya mimpi insiden ini. Dan, kini ini menjadi kenyataan,” Hamdani serius menceritakannya.

“Ah, kau berlebihan saja. Tapi, saya gembira, berarti saya lebih dulu masuk ke mimpimu sebelum kita bertemu.” Hamdani dan Nurjannah saling pandang dan tawanya berderai sepanjang perjalanan ke Yogyakarta. Enam bulan kemudian mereka menikah.

Selepas itu, berturut-turut Hamdani memimpikan hal-hal yang akan terjadi hari- hari selanjutnya. Dia tidak jadi naik busway suatu pagi sebab beliau ingat mimpinya bahwa akan ada kecelakaan busway yang menewaskan semua penumpang. Dan, benar setibanya di kantor, Hamdani membaca portal isu ihwal sebuah busway yang menabrak kendaraan beroda empat dan meledak. Semua penumpang meninggal. Tengkuk Hamdani meremang seketika.

“Apakah mimpi-mimpiku ini ialah semacam tanda dari Allah?” gumam Hamdani seorang diri. “Tapi, saya bukan orang salih yang mimpinya bisa diartikan wahyu? Apa ini pekerjaan setan yang mencoba mengusik keimananku?”

Hamdani mencoba menikmati semua hal yang didapat gratis dan sudah tahu lebih dulu apa yang akan terjadi esok hari. Tapi, makin lama, mimpi-mimpi itu berubah menjadi gangguan dalam hidup Hamdani.

Rasanya, menjadi penonton belaka, andai tahu apa yang akan terjadi, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya sebagai penonton. Andai adegan yang akan dilihatnya bahagia, Hamdani ikut bahagia. Sebaliknya, ketika adegan mengerikan terpampang Hamdani menjadi orang paling curang di dunia.

“Mengapa harus diberi tahu yang terjadi di masa depan bila saya tidak bisa mengubahnya?” protes Hamdani di tengah shalat malamnya. “Duh Allah, apa Engkau hendak menyiksaku dengan ramalan-ramalam yang menyeramkan ini?”

Mimpi-mimpi Hamdani selanjutnya ialah mimpi-mimpi yang mengerikan. Hamdani melihat banjir besar yang menewaskan banyak orang, tanah longsor yang menimpa satu kampung, gunung yang usang mati, tiba-tiba meletus dan merenggut banyak nyawa orang, atau ombak besar yang menerjang sebuah Ferry.

Keringat Hamdani membanjiri sekujur badan. Kaus dan celananya kuyup keringat. Dadanya bergemuruh. Pikirannya berkeliaran entah ke mana. Menggigil. Apa yang harus dilakukannya dengan mimpi-mimpi yang sedemikian menyeramkan itu?

“Mimpi itu bunga tidur,” kata Nurjannah. “Nggak usah dipikir dalam-dalam. Nanti kau sakit sendiri,” tambahnya.

“Tapi mimpi itu begitu nyata. Aku bisa mendengar jeritan korban dan mencicipi kesedihan mereka.”

“Aku juga bisa mencicipi demikian bila sedang nonton film,” komentar Nurjannah begitu enteng.

“Tapi, mimpi-mimpiku sebelumnya menjadi kenyataan,” Hamdani mencoba menenangkan pikirannya. Nurjannah sudah berdiri dari kasur dan mengucek-ucek mukanya biar tampak lebih segar.

“Persentasenya?”

“100 persen.”

“Sudah-sudah. Bencana bisa terjadi di mana-mana. Mungkin mimpimu itu akan terjadi di ujung bumi yang begitu jauh dari kita. Tidur dan berdiri itu atas penjagaan Allah,” imbuh Nurjannah.

Hamdani mencoba menenangkan pikiran dengan melafazkan doa berdiri tidur.

Namun, beberapa bulan kemudian Gunung Kelud meletus, Bandung dan Jakarta banjir, Aceh banjir bandang, Banjarnegara longsor. Hamdani kembali teringat mimpi-mimpinya yang hampir sama. Mimpinya kembali menjadi kenyataan dan menciptakan Hamdani tidak berhenti meratapi diri.

Sejak itulah Hamdani tetapkan untuk tidak tidur. Itu bentuk protes kepada Allah biar tak usah lagi memberinya cuplikan insiden apa pun di masa mendatang. Hatinya begitu ringkih menyaksikan kesedihan lebih dulu dari kebanyakan orang. Tubuhnya tidak kuat. Agar tidak kedatangan mimpi, Hamdani tidak mau terlelap. Meski istrinya, Nurjannah, terus menasihati biar mengistirahatkan tubuhnya.

*****

“Bagaimana, saran Dokter Kamal?” tanya Nurjannah.

Hamdani terduduk. Kemudian, menggeleng. Nurjannah menyodorkan segelas teh manis kegemaran Hamdani. Hamdani menyeruputnya sedikit, sebelum ditelakkan begitu saja.

“Aku harus memaksa diriku untuk tidur, kata Dokter Kamal. Itu satu-satunya terapi biar saya bisa lepas dari insomnia menjengkelkan ini.”

“Benar itu, tubuhmu punya hak untuk istirahat,” tambah Nurjannah.

“Tapi, saya tidak mau kedatangan mimpi-mimpi penuh ramalan itu.”

“Berdoa dahulu. Agar tidurnya nyenyak dan tidak diganggu setan,” Nurjannah menyiramkan kata-kata penuh penenangan.

“Aku lebih lezat dihantui bayang-bayang masa silam, daripada harus dipertontonkan masa yang akan datang. Itu menyeramkan.”

“Sudahlah, tidurlah sekarang. Kamu harus istirahat, saya akan menungguimu.”

Hamdani mengeluarkan beberapa obat yang dibelinya dari apotek. Vitamin dan obat penenang biar Hamdani gampang terlelap tidur. Segelas air putih diteguk habis Hamdani sambil menelan beberapa pil sesuai tawaran Dokter Kamal.

“Di kamar, ya?” Nurjannah menyarankan Hamdani.

“Tidak usah. Di sini saja. Mungkin di sofa saya tidak akan kedatangan mimpi,” Hamdani kemudian meluruskan kaki dan mengganjal kepala dengan batal kecil. Nurjannah menurunkan suhu pendingin ruangan dan membawakan selimut untuk Hamdani.

“Kamu jangan pergi, ya?” pinta Hamdani. “Kalau mimpi jelek itu tiba lagi, saya akan berteriak dan segera bangunkan aku.” Hamdani masih saja mengkhawatirkan mimpi- mimpi itu.

Hamdani menutup matanya. Badannya terus dibolak-balik mencari posisi pas untuk terlelap. Lima belas menit Nurjannah menunggui dan menepok-nepok paha Hamdani menyerupai seorang bayi. Beberapa menit kemudian, dengkuran halus Hamdani mulai terdengar. Nurjannah menghela napas lega.

Lalu, Hamdani ditinggal ke dapur menyiapkan sajian makan siang.

Allahu akbar!” teriak Hamdani dan seketika bangun.

“Ada apa?” tanya Nurjannah yang tergesa- gesa berlari dari dapur hingga lupa masih memegang wortel dan pisau.

Hamdani menangis kembali. Air matanya lebih banyak. Hamdani tidak aib harus tergugu di depan istrinya.

“Mimpi lagi?” tanya Nurjannah. Hamdani mengangguk.

“Meludah ke kiri tiga kali dan ta’awuz,” saran Nurjannah.

Segelas air putih diteguk Hamdani.

“Mimpi apa?”

“Aku duduk di kabin pesawat. Sejenak kemudian, pilot memberi informasi pesawat akan berguncang sebab melewati formasi awan amat besar. Penumpang harus bersedia dengan sabuk pengaman. Guncangan andal terjadi. Sirine meraung di tengah-tengah kabin. Keriuhan dan kecemasan mengudara bersama distributor belakang layar orang yang seolah melihat malaikat final hidup di hadapan mereka. Lalu, gelap. Dan, tidak ada bunyi lagi. Pesawat itu jatuh.”

Nurjannah diam. Hamdani kembali menangisi kekerdilannya sebab tidak bisa berbuat apa-apa terhadap mimpinya. Apalagi, mengubah yang akan ditakdirkan Allah.

“Kita harus bagaimana?” tanya Hamdani sambil terisak.

Tidak ada jawaban. Hanya bunyi isu di televisi yang mengabarkan insiden mengerikan menguasai ruangan. (*)



Teguh Affandi, lahir di Blora, 26 Juli 1990. Cerpennya di muat di media Nasional. Pada 2014 meraih penghargaan PPSDMS Award 2014 kategori Pena Emas dan juara 1 sayembara cerpen Femina 2014.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel